Pojoksuramadu.com – “Mahasiswa adalah makhluk yang paling suka belajar.” Kalimat singkat ini sering saya dengar sejak menjejakkan kaki di bangku perkuliahan. Mahasiswa dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan siswa, karena kata “Maha” yang berarti “paling” menegaskan bahwa mahasiswa adalah individu yang paling belajar.
Namun, kehadiran modernisasi teknologi telah membawa kita pada era di mana “Artificial Intelligence” atau kecerdasan buatan, yang kita kenal dengan AI, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. AI adalah sistem yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia dan menawarkan solusi dalam berbagai aspek kehidupan.
AI yang akrab dengan mahasiswa, seperti ChatGPT atau fitur baru Meta AI di WhatsApp, kini menjadi alat yang sering digunakan di lingkungan akademik. Kehadiran AI ini menciptakan dinamika baru dalam cara mahasiswa belajar dan berpikir. Namun, apakah ini sepenuhnya positif? Mari kita telaah melalui sebuah skenario menarik.
Pada suatu waktu, ada sebuah kegiatan kajian akademik yang bertujuan menambah wawasan dan melatih kemampuan berpikir kritis. Tema kajian ditentukan melalui perintah sederhana, “Buatkan saya tema kajian.” Setelah tema disepakati, pemateri pun dipilih, dan ia menyusun materinya dengan bantuan perintah, “Buatkan saya materi tentang tema ini.”
Saat kajian dimulai, para peserta membawa bekal berupa ponsel yang dilengkapi aplikasi AI seperti ChatGPT. Ketika sesi diskusi dibuka, muncul pertanyaan-pertanyaan yang dibuat melalui perintah, “Buatkan saya pertanyaan tentang tema ini.” Jawaban dari pemateri pun tak kalah canggih, karena dihasilkan dari perintah serupa, “Buatkan saya jawaban dari pertanyaan ini.”
Ketika sesi selesai, para peserta pulang dengan perasaan puas. Mereka merasa telah “banyak” belajar. Namun, apakah benar mereka belajar? Apakah ini mencerminkan semangat belajar mahasiswa yang sesungguhnya?
Kehadiran AI memang menawarkan kemudahan dalam mengakses informasi dan menyelesaikan tugas-tugas akademik. Namun, di sisi lain, ada bahaya tersembunyi: potensi hilangnya kemampuan berpikir kritis. Mahasiswa yang terlalu mengandalkan AI berisiko kehilangan kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan ide secara mandiri.
Teknologi seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti proses berpikir. Mahasiswa masa kini tidak hanya dituntut untuk menggunakan teknologi dengan bijak, tetapi juga untuk menjaga dan melatih kemampuan berpikir mereka. Karena pada akhirnya, esensi pendidikan bukan sekadar bertanya dan menjawab, tetapi membentuk individu yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan solutif.
AI adalah alat yang luar biasa, tetapi mahasiswa harus tetap menjadi pengendali utama. Teknologi harus dimanfaatkan untuk memperkaya wawasan, bukan untuk menggantikan esensi pembelajaran itu sendiri.
Moh Yahya Amrullah
Mahasiswa Semester V Program studi Manajemen Bisnis Syariah (MBS) Institut Kariman Wirayudha (INKADHA) Sumenep