Sebuah video yang menunjukkan antrean orang untuk mengurus perceraian di Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung nampak viral di media massa belakangan ini. Miris, di tengah pandemi yang bekecamuk, angka perceraian di wilayah ini meningkat mencapai 150 kasus perharinya. Tercatat 592 kasus gugatan telah masuk bahkan sebelum akhir bulan Agustus. Sungguh keadaan yang memprihatinkan bukan?
Fenomena seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Bandung saja. Di Aceh, selama 5 bulan terakhir terdapat 2397 kasus perceraian, sementara di Cianjur mencapai 2000 kasus. Bagaimana dengan di Madura?
Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Kabupaten Sumenep, kasus gugatan saat ini mengalami peningkatan yang tajam. Bila pada tahun 2019, tercatat sebanyak 1654 perkara perceraian, pada tahun 2020 hingga bulan agustus sudah mencapai 1102 kasus. (Salah satu media lokal yang terbit bulan Agustus)
Angka perceraian di Kabupaten Pamekasan juga mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan perkara yang diputus di Pengadilan Agama Pamekasan, sejak Januari hingga Juni 2020 terdapat 752 kasus perceraian. Dari total tersebut, 249 kasus merupakan cerai talak dan 458 kasus cerai gugat. (Media lokal, Bulan Juli 2020).
Sementara itu di Kabupaten Sampang, pada tahun ini, selama 6 bulan terakhir, angka perceraian telah mencapai 579 kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama Sampang. Ironisnya, pengajuan perceraian ini didominasi oleh gugatan dari pihak istri yaitu sebanyak 359 kasus (Media lokal, terbit Bulan Juli)
Di Kabupaten Bangkalan, selama pandemi Covid-19, perkara perceraian juga tidak berbeda. Kepala Bagian Humas PA Bangkalan Moh. Rasid menyebutkan bahwa angka perceraian meningkat di tahun 2020 lantaran pandemi Covid-19. Terhitung sejak Januari hingga Juli 2020 Pengadilan Agama Bangkalan telah menangani 921 kasus, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019 yang mencatat 834 kasus (kanalberita.co, 19 Austus 2020).
Penyebab Perceraian
“Baytii Jannatii, Rumahku Surgaku”. Slogan ini nampaknya sangat jauh dari fenomena maraknya perceraian akhir-akhir ini. Rumah tangga yang seharusnya menghadirkan kebahagiaan dan ketenangan bagi suami dan istri, berubah bak neraka dan ingin cepat-cepat diakhiri saja.
Dalam agama Islam, meski perceraian merupakan hal yang dihalalkan, namun termasuk perkara yang dibenci Allah SWT. Walaupun fenomena ini adalah hal yang bisa saja terjadi, namun peningkatan jumlahnya yang semakin tinggi di tengah pandemi saat ini, tentunya patut mendapat perhatian serius. Apalagi ternyata dari banyaknya kasus perceraian, gugat cerai yang berarti permintaan cerai datang dari pihak istri, tampaknya lebih mendominasi. Ada apa gerangan dengan lembaga terkecil di negeri ini?
Ada banyak hal yang ditengarai menjadi pemicu banyaknya kasus perceraian. Diantaranya, perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, perselingkuhan, faktor ekonomi, ditinggalkan sepihak dan lain-lain. Namun nampaknya faktor ekonomi menjadi hal dominan sebagai penyebab maraknya perceraian di tengah masyarakat saat ini.
Memang tak bisa dipungkiri, keadaan pandemi saat ini telah banyak memberikan dampak buruk pada kehidupan masyarakat, termasuk dalam keluarga. Anak-anak yang harus belajar dari rumah, suami juga bekerja dari rumah bahkan ada yang terkena PHK menjadikan tekanan yang memicu stress pada para istri.
Apalagi saat suami sebagai tulang punggung keluarga kemudian harus kehilangan mata pencaharian, sehingga pendapatan keluarga melemah. Padahal beban ekonomi pada saat wabah semakin berat. Tak jarang kemudian para istri harus beralih ikut mencari nafkah untuk bisa memenuhi berbagai kebutuhan keluarga.
Kondisi seperti ini kemudian menyebabkan munculnya riak-riak kecil diantara suami dan istri. Istri yang merasa tidak mendapatkan haknya menuntut suami untuk memenuhinya. Sementara suami tak bisa menerima sikap istri yang seakan merendahkan posisinya sebagai kepala keluarga. Pada akhirnya perselisihan-perselisihan mulai muncul dan berubah menjadi gelombang besar. Bahkan tak jarang berujung Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sehingga seringkali jalan pintas yaitu bercerai kemudian menjadi pilihan untuk mengakhiri biduk rumah tangga yang dibangun.
Butuh Langkah Serius Mewujudkan Ketahanan Keluarga
Sesungguhnya, pernikahan itu bukan hanya persoalan bersatunya dua orang saja. Lebih jauh, pernikahan adalah tempat dimana generasi bangsa dilahirkan, tumbuh dan berkembang. Keluarga seharusnya dapat menjadi madrasatul ‘ula bagi para calon penerus bangsa yang kelak menjadi khoiru ummah.
Disamping itu, keluarga juga seharusnya menjadi surga, dimana hubungan yang terjalin antara suami dan istri adalah hubungan saling mencintai dan penuh dengan kasih sayang. Dengan begitu, cita-cita membentuk keluarga mawaddah dan rahmah akan bisa tercapai. Suami dan istri merasakan kebahagiaan dan ketenangan di dalamnya, apabila bisa bersinergi dalam menjalankan perannya masing-masing.
Dengan demikian, maraknya kasus perceraian yang kini terjadi, seharusnya menjadi perhatian penting semua pihak, baik individu, masyarakat maupun negara. Diantara hal-hal yang perlu menjadi langkah bersama sesuai dengan perannya masing-masing adalah sebagai berikut.
Pertama, individu semestinya memahami peran yang harus dijalankan masing-masing dalam berumah tangga. Istri memahami hak dan kewajibannya, begitupun suami. Suami dan istri harus mengingat bahwa ikatan yang terbentuk saat akad nikah tertunaikan merupakan bagian dari perjanjian suci dengan Allah SWT. Sehingga pemahaman mengenai hak dan kewajiban masing-masing tersebut seharusnya dibangun atas iman yang kokoh. Dengan begitu, suami dan istri mengerti tugas yang harus dijalankan untuk memenuhi hak satu sama lain.
Selain itu, individu juga perlu mengedepankan komunikasi yang penuh persahabatan. Dengan komunikasi yang jelas dan baik, segala persoalan yang dihadapi oleh keluarga akan bisa didiskusikan untuk dicarikan penyelesaian terbaik. Suami dan istri akan saling mendukung dan bersinergi untuk menghadapi semua masalah yang terjadi.
Kedua, perlu dibangun suasana kepedulian dan kekeluargaan di dalam masyarakat dimana keluarga-keluarga berada. Masyarakat tidak boleh acuh dengan berbagai persoalan yang terjadi di dalamnya. Bila terjadi konflik pada salah satu keluarga di dalamnya, masyarakat seharusnya peduli dan memberikan bantuan apabila perselisihan tersebut tak dapat ditangani sendiri oleh keluarga tersebut.
Ketiga, adalah mengoptimalkan peran negara untuk mewujudkan ketahanan keluarga. Bila ekonomi disinyalir menjadi persoalan yang dominan sebagai penyebab maraknya kasus perceraian, maka pemerintah seyogyanya mengambil kebijakan untuk mengatasi hal tersebut.
Pemerintah wajib menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya agar para suami sebagai penanggung nafkah keluarga, dapat berkerja. Negara juga wajib memberikan jaminan bagi para pekerja mendapatkan upah yang memadai untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Di samping itu juga, pemerintah perlu memastikan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap warga negara terlaksana.
Berikutnya negara wajib menyediakan sarana dan prasarana untuk memberikan edukasi bagi para calon pasutri dan pasutri berkaitan dengan perannya dalam sebuah rumah tangga. Dengan begitu diharapkan para suami dan istri telah memahami hak dan kewajiban masing-masing dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Negara juga perlu memberikan mediasi bagi perselisihan rumah tangga dan memastikan agar masing-masing menjalankan kewajibannya dengan benar.
Bila perselisihan dalam rumah tangga sampai menimbulkan kekerasan pada salah satu pihak, misalnya kepada istri, negara harus bertindak tegas menjatuhkan sanksi. Kemudian memberikan penyelesaian terbaik bagi kelangsungan rumah tangga tersebut apakah dapat dilanjutkan atau harus diakhiri.
Bisa dilihat, bahwa persoalan rumah tangga ternyata tidak cukup hanya mengandalkan pada suami dan istri semata untuk menyelesaikannya. Namun harus ada sinergi antara individu, masyarakat dan negara. Peran negara menjadi sangat urgen, agar solusi-solusi terbaik dapat dijalankan masing-masing pihak.
Tanpa turun tangannya negara yang mengatur dan memberikan perlindungan, niscaya badai pandemi saat ini bisa menghancurkan biduk-biduk rumah tangga, akibat dampaknya yang terasa hingga dalam keluarga. Dengan begitu semestinya negara tak boleh abai, agar ketahanan keluarga sebagai salah satu pilar yang mendukung lahirnya generasi penerus bangsa berkualitas bisa kokoh terwujud. Wallahu’alam bisshowab.
Oleh: Dwi Indah Lestari,
Penggiat Komunitas Ibu Hebat Bangkalan