Oleh Moch Eksan
Sebagai alumni, tentu saya menyambut gembira perubahan status Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember menjadi Universitas Islam Negeri KH Achmad Shiddiq (UIN KHAS). Namun perubahan status ini diharapkan bukan sekadar perubahan nama dan penambahan fakultas eksakta, tapi disertasi dengan perubahan fundamental dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, integralisasi ilmu agama Islam dengan ilmu lain, serta peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Pada Peraturan Presiden Nomor 44/2021 tentang UIN KHAS, Presiden Joko Widodo menyebutkan dengan jelas pertimbangan di atas dalam peralihan IAIN menjadi UIN. Setelah terbitnya perpres tertanggal 11 Mei 2021 bersamaan dengan 6 IAIN lainnya, ciri khas UIN sebagai perguruan tinggi agama Islam semakin jelas dan tegas. Keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain dimaksudkan untuk mendukung pengembangan ilmu agama Islam.
Pada Pasal 2 Perpres UIN KHAS tersebut termaktub ketentuan berikut ini: ”
(1) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember mempunyai tugas menyelenggarakan program pendidikan tinggi ilmu Agama Islam. (2) Selain menyelenggarakan program pendidikan tinggi
ilmu Agama Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember dapat menyelenggarakan program pendidikan tinggi ilmu lain untuk mendukung penyelenggaraan program pendidikan tinggi ilmu Agama Islam”.
Jadi, penyelenggaraan ilmu selain Ilmu agama Islam sifatnya “mendukung” terhadap tugas UIN KHAS sebagai penyelenggara pendidikan tinggi agama Islam. Inilah identitas awal kehadiran perguruan tinggi agama Islam negeri (PTAIN) di Tanah Air semenjak 1951. PTAIN merupakan ikhtiar untuk mengatasi kesenjangan intelektual sekuler Barat dengan ulama tradisional. Keberadaan perguruan tinggi Islam untuk mencetak ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama.
Niat awal Menteri Agama di era Presiden Soekarno, KH A Wahid Hasyim ini, haruslah dipegang-teguh dalam mengembangkan integralisasi ilmu agama Islam dengan ilmu lain dalam wadah UIN. Bila tidak, apalagi sampai mengekor dengan universitas umum, maka UIN akan tercerabut dari akar sejarah dan cita-cita para tokoh Islam yang menginisiasi lahirnya perguruan tinggi Islam sejak zaman penjajah sampai era kemerdekaan.
Dalam konteks Jember misalnya, pemberian nama KH Achmad Shiddiq pada UIN baru ini, otomatis bersamaan membawa reputasi besarnya dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa. Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini berjasa mendamaikan kekuatan Pancasila dan Islam yang silang sengkurat sejak Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri pada 1945 sampai dengan penerapan asas tunggal Pancasila pada 1985. Silang sengkarut Pancasila dan Islam ini, baik secara ideologis, politis maupun fisik.
Kiai Achmad Shiddiq yang telah membuka kotak pandora kebuntuan ideologis-politis umat Islam Indonesia dalam menghadap kebijakan asas tunggal Orde Baru. Yang menarik, penerimaan NU terhadap Pancasila didahului dengan pergulatan intelektual yang luar biasa di kalangan ulama tradisional. Pro kontra terjadi, bahkan cap ‘kafir” pun mendera santri kesayangan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari ini.
Dengan penguasaan khazanah ilmu agama Islam yang luas, dari kajian kitab kuning pesantren, Kiai Achmad Shiddiq melahirkan rumusan hubungan Pancasila dan Islam. Sebuah capaian kontekstualisasi kitab kuning yang terbaik dalam sepanjang sejarah, sekaligus memecah kebuntuan intelektual di kalangan ulama.
Di hadapan forum Munas alim ulama NU pada 1983, hasil ijtihad ideologis tersebut dipaparkan. Satu tahun setelahnya, dengan mengutip dalil Qur’an-Hadits, kitab muktabarah seperti Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ahkamus Sulthoniah Imam Mawardi, Tafsir Qurthubi Imam Qurthubi, Bughyatul Mustarsyidin Sayid Abdurrahman Al-Masyur dan lain sebagainya, yang membuat para ulama NU “taslim” terhadap pokok-pokok pikiran Kiai Achmad Shiddiq pada Komisi I Masail Fiqhiyah pada Muktamar NU ke-27, 11 Desember 1984.
Baru setelah NU menerima asas tunggal Pancasila, maka berangsur-angsur ormas Islam lain mengikuti jejak NU. Semenjak itulah Islam dan negara saling mengakomodasi satu sama lain. Ketegangan ideologis mereda. Rezim Orde Baru mengakomodir kekuatan Islam dalam struktur pemerintahan. Potret kondisi inilah yang oleh Prof Dr Abdul Munir Mulkhan SU disebut dengan runtuhnya metos politik santri, dan terjadinya santrisasi birokrasi di pemerintahan Presiden Soeharto.
Dengan demikian, Kiai Achmad Shiddiq berjasa menghapus Islamophobia dari negeri ini, serta meneguhkan Islam nasionalis dalam berkhidmat pada bangsa dan negara. Jujur, apapun capaian umat Islam hari ini: ideologis, politis, ekonomis dan infrastruktur keagamaan, tak bisa lepas dari karpet merah yang digelar Kiai Achmad Shiddiq. Maka dari itu, pengabadian nama KH Achmad Shiddiq pada UIN Jember memiliki konsekuensi-logis yang berat. Antara lain:
Pertama, secara akademis, UIN KHAS harus mengembangkan Pancasila and Islamic Studies (Studi Pancasila dan Islam). Studi ini merupakan antitesis dari Center of Pancasila Studies (Pusat Studi Pancasila) dari Universitas Gajah Mada yang berdiri sejak 1995, dan Islamic Studies (Studi Islam) dari PTAIN yang ada sejak 1951. Studi Pancasila dan Islam dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran Kiai Achmad Shiddiq. Sebab, penjabaran konsep Pancasilanya berbeda dengan uraian Bung Karno, Muhammad Yamin, Soepomo, Piagam Jakarta, tim 9, dan Pembukaan UUD 1945.
Kedua, secara ideologis, Pancasila dan Islam bukan “kata benda” yang tunggal, akan tetapi “kata sifat” yang menjadi unsur spirit. Keduanya bukan struktur yang mengekang, tapi memberikan ruang dialog sebagai asas terbuka dan aqiqah yang terbuka pula. Kedua konsep ini saling menyerap unsur positif sebagai kristalisasi nilai yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat.
Ketiga, secara yuridis, Pancasila dan Islam merupakan sumber hukum nasional. Pelaksanaan Pancasila merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam. Keberadaan kompilasi hukum Islam, UU Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syari’ah, UU Nomor 23/2011 tentang pengelolaan zakat, dan UU Nomor 8/2019 tentang Pelaksanaan Haji dan Umroh, merupakan pelaksanaan syariat Islam dalam bingkai hukum nasional.
Keempat, secara politis, UIN KHAS bertugas untuk meningkatkan kualitas SDM muslim Pancasila yang berada di front terdepan dalam merawat 4 Pilar Kebangsaan. Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika merupakan medan jihad bagi lulusan dalam menjaga dan memelihara keberlangsungan Indonesia hatta Yaumil qiyamah.
Alhasil, beberapa kali peralihan status dari Fakultas Tarbiyah Jember IAIN Sunan Ampel ke STAIN Jember, kemudian ke IAIN Jember dan sekarang ke UIN KHAS mengindikasikan kampus Pancasila ini terus tumbuh dan berkembang pesat.
Syahdan, Prof Dr H Babun Suharto MMlah selaku sosok yang selalu berada di balik perubahan status tersebut. Sesuai dengan namanya Babun yang berarti “pintu”, Ia selalu menjadi play maker dari lakon perubahan besar di kampus yang bermarkas di Karangmluwo Mangli Jember ini. Bravo Profesor!
*Penulis adalah pendiri Eksan Institute.