Oleh Moch Eksan
Menteri Agama, Yaqut Cholil Quomas tak menyangka Indonesia musim haji 2021 ini tak mendapatkan kuota jamaah. Saat dikonfirmasi media, Gus Yaqut bingung apa latar belakang dari keputusan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tersebut.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Sufmi Dasco Ahmad justru yang lebih tahu alasannya. Wakil Ketua Umum DPP Gerindra ini menyebut terkait dengan vaksin Sinovac yang belum mendapat Emergency Use Listing (EUL) dari World Health Organization (WHO).
Pemerintahan Raja Salman Bin Abdul Aziz hanya memberikan kuota jamaah haji pada negara yang telah melakukan program vaksinasi. Vaksin pun harus yang sudah mendapat ijin penggunaan darurat dari badan kesehatan dunia. seperti: Pfizer, Moderna, Johnson & Johnson dan AstraZeneca. Sementara, Sinovac belum mendapatkan ijin penggunaan bagi jamaah haji.
Kabar ini sudah pasti sangat mengejutkan, bagaikan petir di siang bolong. Jamaah haji Indonesia “absen” untuk dua kali musim haji. Ini tentu berimbas pada daftar haji kian mengular panjang, serta terjadi krisis spiritual umat.
Haji merupakan basic spiritual need (kebutuhan spiritual dasar). Animo terhadap rukun Islam kelima ini sangatlah tinggi. Jamaah haji Indonesia selama ini, selalu terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain.
Pada 2020 lalu, Kemenag mengungkapkan bahwa antrian pemberangkatan haji Tanah Air paling singkat 13 tahun dari Propinsi Gorontalo, dan paling lama 32 tahun dari Kalimantan Selatan. Sehingga lobi diplomatik amat diperlukan untuk meminta tambahan kuota jamaah haji setiap tahun.
Memang nasib sedang naas, razim Indonesia dan Arab Saudi tak sehaluan dalam perang dagang antara China dan Amerika. Produk vaksin virus Corona ternyata ikut terseret dalam perang dagang tersebut. Juga sampai berimbas pada penyelenggaraan haji tahun ini.
Tatkala dua gajah berkelai, semut di dalam sarang pun terdampak pula. Indonesia dan Arab Saudi mau tak mau, tanpa disadari dalam urusan haji, bias kepentingan dagang dua raksasa ekonomi dunia itu sangat terasa.
Sementara khusus bagi jamaah lanjut usia atau sudah udzur, satu tahun, dua tahun, sangat menentukan nasibnya dalam memenuhi kebutuhan spiritual haji. Salah-salah, ajal dan kesehatan mereka malah memupus cita-citanya melakukan tawaf di Baitullah.
Hussein Kamel mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian National Aeronautics and Space Administration (NASA) Amerika, bahwa Ka’bah merupakan sumbu bumi bila ditarik dari garis bujur dan lintang dari seluruh penjuru benua dunia. Sehingga daya magnitude dan gravitasi bumi spiritual sangat luar biasa. Gejolak rasa dan kerinduannya melebihi manusia yang sedang jatuh kasmaran.
Betapapun kritik gencar dan keras terhadap candu spiritual Haji dilakukan, seperti di dalam buku Advesity Spiritual Quotient (ASQ) untuk Haji, tetap saja tak mumpan. Hati muslim memang terpaut erat dengan Ka’bak. Bahkan lengket selengket perangko.
Para ulama seringkali mengingat bahwa haji hanya wajib sekali saja, selanjutnya sunah. Sementara membantu fakir miskin, anak yatim, orang terlantar, dan orang yang dizalimi adalah fardu kifayah, tak menyurutkan niatnya untuk berhaji berulang kali, serta mengalihkan dananya untuk kepentingan kesejahteraan sosial.
Di era Pandemi Covid-19, keterlibatan umat dalam mengatasi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), sangat dibutuhkan pemerintah dalam menjalankan tugas konstitusi. Keterlibatan umat merupakan bentuk solidaritas sesama anak bangsa. Dalam hadits riwayat Imam Hakim disebutkan, ‘barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan semua kaum muslimin, maka dia bukan golongan mereka”.
Rasulullah SAW dalam hadits lain bersabda, ”Carilah aku di antara orang-orang lemah kalian. Sesungguhnya kalian diberi rezeki dan kemenangan karena orang-orang lemah kalian.” (HR Abu Daud).
Orang lemah yang dimaksud adalah mereka yang tak berdaya karena suatu musibah. Atau pun, mereka para fakir miskin, anak yatim, orang telantar, dan orang yang terzalimi, baik karena ketidakadilan maupun berjuang di jalan Allah SWT.
Oleh karenanya, Haji tuna sosial semacam itu, mutlak membutuhkan pengasuhan keperawatan dari bina mental. Spiritualitasnya mengalami masalah serius. ibadah Haji yang mestinya merupakan puncak ibadah badaniyah dan ibadah maliyah, menjadikan mereka selesai dengan hidup, malah justru sebaliknya. Nauzubillah min dzalik?
*Penulis adalah pendiri Eksan Institute