POJOKSURAMADU.COM, Bangkalan – Memasuki musim kemarau sejumlah daerah di Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur mengalami kekeringan. Banyak warga yang ada di pelosok kesulitan air bersih. Bahkan untuk mendapatkan air bersih di sungai, mereka harus rela berjalan sejauh 3 kilometer.
Maklum mata air yang ada di sumur warga sudah kering karena lama tidak turun hujan. Keberadaan air bersih sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya untuk memasak, minum dan mandi serta ibadah. Kondisi ini seperti yang dialami warga di Desa Bandang Dajah, Kecamatan Tanjung Bumi, sebelum adanya program Himpunan Masyarakat Pemakai Air Minum (Hipam).
“Dulu susah mendapatkan air kalau sudah masuki musim kemarau. Ambilnya air jauh di sungai, harus berjalan sekitar 3 kilometer,” terang salah seorang warga Bandang Dajah, Wiwik, pada Pojoksuramadu.com saat ditemui di rumahnya, Minggu (10/10/2021).
Namun, sekarang dirinya bersama warga yang lain tidak perlu susah dan berjalan sejauh 3 kilometer untuk mendapatkan air besih, meskipun di musim kemarau. Sebab sudah ada Hipam, sehingga dirinya tinggal putar kran di rumah lalu airnya akan keluar.
Wiwik sangat senang dan bersyukur dengan adanya Hipam tersebut. Untuk pembayaran pemakaian air bersih sendiri bisa dengan non tunai setiap bulannya. Dimana warga yang tidak mampu membayar tagihan pemakaian air bersih dengan uang bisa ditukar sama hasil bumi seperti mangga, sukun, nangka dan pisang serta hasil bumi lainnya.
“Saya bayar air bersih memakai buah-buahan, hasil bumi. Kondisi ini sangat membantu saya dan keluarga, apalagi sekarang pandemi Covid-19, sulit mendapatkan uang. Saya berterima kasih pada Pertamina, karena dengan adanya Hipam warga tidak kesulitan air bersih lagi,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Hipam Sumber Barokah Desa Bandang Dajah, Andi Maryanto. Ia menyatakan, sistem pembayaran non tunai atau memakai hasil bumi bagi masyarakat yang kurang mampu memang difasilitasi. Masyarakat tinggal membawa hasil bumi seperti singkong, sukun, pisang, nangka dan mangga.
“Harganya kita sesuaikan dengan di pasar berapa perkg. Nanti saya hitung perkg berapa untuk buahnya, dan besaran pemakaian air bersih. Misal buah yang dibawa nilainya cukup sesuai dengan pembayaran air bersih, maka tidak punya utang,” ucapnya.
Namun, sambung Andi, bila buah yang dibawa kurang dari nilai tagihan pemakaian air bersih bila dirupiahkan, maka warga membawa buah lagi untuk kekurangan. Contoh bawa mangga 2 kilogram, lalu harga mangga perkg Rp 20 ribu, berarti mangga yang dibawa senilai Rp 40 ribu.
Sedangkan tagihan pemakaian air bersih Rp 60 ribu. Jadi warga tersebut masih kurang Rp 20 ribu untuk bayar tagihan air. Kekurangannya bisa dibayar dengan uang atau membawa buah kembali ke koperasi Hipam.
“Buah hasil pembayaran non tunai ini saya manfaatkan sebagian buat UMKM jadi produk UMKM, yang sebagian dijual langsung dari himpunan koperasi Hipam ke pedagang. Ada sekitar 30 KK bayar hasil tani, sisanya dari 400 KK bayar tunai. Ratusan KK ini dari tiga Desa meliputi Bandang Dajah, Tanjung Bumi dan Telaga Biru,” paparnya.
Menurut Andi, dengan adanya program dari Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) berupa Hipam, masyarakat sangat berterimah kasih. Sebab dengan adanya program Hipam sampai sekarang masyarakat merasa nyaman untuk mengembangkan ekonomi yang ada di desa, terutama bagi pelaku UMKM seperti jualan krupuk yang proses produksi membutuhkan air.
“Dulu saya masih kecil kalau cari air di sungai, yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumah. Sekarang sangat nyaman dengan adanya Hipam, kebutuhan masyarakat sendiri seperti memasak, mandi dan beribadah terpenuhi karena air sumber kehidupan,” tukasnya.
Sementara itu, Relations Manager Regional 4 Indonesia Timur Sub Holding Upstream Pertamina, Iwan Ridwan Faizal, menyatakan pada tahun 2013 hingga 2017 PHE WMO mengembangkan program Hipam berupa penyediaan air bersih bagi warga. Hal ini berangkat dari persoalan kesulitan air bersih di Desa Bandang Dajah, dimana masyarakat harus menempuh jarak 3 kilometer berjalan kaki untuk mendapatkan air bersih.
Program ini berhasil mendistribusikan air pada 400 KK di Desa Bandang Dajah dan 2 Desa sekitar. Ada yang menarik dalam program ini yaitu iuran non tunai yang dilakukan 17 keluarga kurang mampu. Iuran non tunai ini merupakan langkah untuk memberikan akses berlangganan air bersih, keluarga kurang mampu dapat membayar iuran air bersih melalui sistem barter dengan hasil alam seperti sukun, mangga, pisang dan berbagai hasil alam lainnya.
“Alhamdulillah inovasi ini dapat meningkatkan nilai tambah. Tak berhenti disana melalui pembayaran iuran non tunai telah memberikan ide inovasi untuk mengolah sukun menjadi tepung sukun yang baik untuk kesehatan jantung dan diet. Serta mengolah mangga kocor, yang biasanya dibuang menjadi produk kenyal mangga atau foodleter,” terang Iwan.
Dari program Hipam, sambung Iwan, selanjutnya PHE WMO juga melakukan kajian cadagan air di tahun 2019. Dengan hasil kajian cadangan air yang surplus, potensi tersebut dikembangkan ke arah sistem pertanian organik hemat air, yang merupakan solusi bagi lahan kering di Bandang Dajah.
Sistem pertanian ini menggunakan irigasi tetes dengan menerapkan tumpang sari pada satu hektar lahan demplot. Pada tahun pertama pelaksanaan program kelompok tani sangga buana, yang mengelola ecoedufarming telah mampu memproduksi 5 200 kg buah dan sayuran terdiri dari 8 variates tanaman.
“Selain itu melalui program ini tercipta rantai nilai keberlanjutan manfaat kotoran ternak dan serabut kelapa mampu mewujudkan program bebas sampah. hal yang menggembirakan bagi kami semangat para anggota kelompok yang saat ini berhasil merefleksikan sistem pertanian di dua areal lainnya. Saat ini demplot sudah menjadi tempat belajar dari berbagai universitas dan lembaga. Kedepan Insya Allah kami akan mendorong pembentukan dan penguatan kelembagaan berupa BUMDES atau koperasi untuk pengelolaan yang lebih baik demi keberlanjutan manfaat program,” tukasnya. (Syaiful)