Apakah yang membuat seseorang masuk surga, karena baik akhlaknya atau banyak ibadahnya?
Pertanyaan ini dalam doktrin Islam mendapatkan justifikasi kebenarannya masing-masing. Dalam mimpi Hujjat al-Islam al-Imam Abu Hamid al-Ghazali yang diabadikan dalam Kitab Nashaih al-Ibad karya al-Imam al-Nawawi disebutkan bahwa yang membuatnya masuk surga adalah karena dia membiarkan lalat yang sedang kehausan yang meminum tinta yang dipergunakannya untuk menulis karya-karya besarnya. Akhlak baiknya kepada seekor lalat telah mencegahnya masuk neraka.
Kontras dengan hal di atas adalah Al-Qur’an menjelaskan bahwa surga diberikan kepada orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran: 133-134). Bertakwa menurut QS. Al-Baqarah: 2-5 adalah mereka yang banyak ibadahnya. Adakah pertentangan dari doktrin Islam ini?
Baca juga : Qobliyah Subuh, Niat Sholat Sunnah Sebelum Subuh
Antara Syari’ah dan Thariqah
Puncak tasawuf yang terjadi semasa kesyahidan al-Hallaj dengan pernyataan masyhurnya, ana al-haqq, menghasilkan kesimpulan berupa pertentangan antara syari’ah dan thariqah.
Maksud syari’ah di sini adalah fikih, sedangkan thariqah adalah tasawuf. Sebaliknya, dalam ajaran-ajaran al-Sulami, Qusyayri, Imam al-Ghazali, dan Abdul Qadir Jailani dapat dilihat bagaimana keduanya bergabung dan saling bergantungan.
Adalah Ibn al-Husain al-Sulami, seorang sufi asal Naisabur, pelopor dalam penyempurnaan penggabungan antara tasawuf dan fikih, juga disiplin ilmu lainnya.
Setelahnya, lahirlah ilmu baru dalam tasawuf yang di dalamnya berupa gabungan antara dua hal, meliputi data pengalaman-pengalaman batiniah beberapa wali dan aliran-aliran yang mereka ajarkan. Pengalaman-pengalaman yang ada didukung oleh Al-Qur’an dan sunah.
Dalam kitab berjudul Futuwwah karya Ibn al-Husain al-Sulami, terekam ulasan mengenai ajaran-ajaran hasil perpaduan antara syari’ah dan thariqah. Ajarannya mencakup aturan tingkah laku para sufi dalam berbagai aspek, seperti aspek sosial, ekonomi, dan psikologi.
Ajaran yang awalnya berasal dari naskah-naskah yang dikumpulkan oleh al-Sulami beserta para sufi sebayanya ini memiliki pengaruh yang besar kemudian. Para guru di masjid-masjid mulai mengajarkannya sebagai pandangan hidup yang didukung oleh doktrin ajaran Islam. Maka, para guru tersebut tidak mengajarkannya sebagai filsafat yang abstrak atau tidak berwujud.
Sesuai dengan judul kitab al-Sulami, ajaran tersebut disebut dengan istilah futuwwah. Futuwwah yang berasal dari bahasa Arab fata, artinya pemuda tampan dan gagah berani. Akan tetapi, perkembangan pemaknaan kata futuwwah sangat luas.
Futuwwah dapat diartikan sebagai: seseorang yang ideal, mulia, dan sempurna; orang yang keramahan dan kedermawanannya tak ada habis-habisnya sampai ia tak memiliki sesuatu pun untuk dirinya sendiri; ataupun seseorang yang ikhlas memberikan semua miliknya.
Perwujudan futuwwah dapat dijumpai pada sosok para nabi. Salah satu yang dapat dijadikan contoh adalah sikap dan perilaku sempurna Nabi Muhammad Saw sebagai tujuan puncak tasawuf yang mengandung refleksi semua contoh sikap hidup futuwwah. Begitupula pada keempat penerus Nabi Muhammad Saw: Abu Bakar yang setia, Umar yang jujur dan adil, Utsman yang khusyuk dan sederhana, dan Ali yang berani.
Baca juga : Hukum Membaca Al-Quran di HP tanpa Wudhu
Tentang Futuwwah
Lebih jelasnya, mari simak kisah singkat mengenai futuwwah dari riwayat Umar bin Khattab berikut:
Suatu ketika, Nabi Muhammad Saw meminta bantuan dana kepada para sahabatnya. Umar memberikan sebagian hartanya, sedangkan sebagian hartanya ia tinggal di rumah untuk keluarganya. Sementara Abu Bakar yang selalu berada di atas Umar dalam kebaikan memberikan seluruh hartanya.
Dengan keyakinan yang penuh, Abu Bakar mengatakan bahwa anak-anaknya berada di bawah pemeliharaan Allah dan rasul-Nya sehingga ia menyerahkan seluruh hartanya. Setelah hari di mana Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya, tak pernah terlihat batang hidungnya di masjid. Para sahabat mengatakan bahwasanya Abu Bakar kini hanya memilliki selembar kain yang ia gunakan secara bergantian dengan istrinya untuk menutup aurat ketika salat.
Bilal pun diutus oleh Nabi Saw ke rumah Fatimah, putri bungsunya, untuk meminta selembar kain yang tidak terpakai. Alhasil dibawalah selembar kain dari bulu domba sebagai satu-satunya kain yang dimiliki oleh Fatimah. Sebab ukuran yang terlalu pendek, Abu bakar menambahkan daun kurma agar auratnya dapat tertutup secara layak dan sopan sebab akan ia gunakan untuk pergi ke masjid.
Kemudian datanglah malaikat Jibril kepada Nabi Saw sebelum sampainya Abu Bakar di masjid. Pakaian yang dikenakan Jibril saat itu sama seperti yang dikenakan oleh Abu bakar. Melihat pakaian aneh Jibril, Nabi pun menanyainya.
Jawaban jibril, bahwasanya pakaian itu adalah bentuk penghormatan dan keberkatan dari Allah sebab ia sangat setia, murah hati, dan beriman. Hari itu, semua malaikat di surga pun mengenakan pakaian yang sama dengannya.