PAMEKASAN – Di tengah masifnya gema transformasi digital yang dicanangkan pemerintah, potret nyata di tingkat akar rumput seringkali menampilkan cerita yang berbeda. Kesenjangan akses dan literasi digital masih menjadi tantangan utama, terutama bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di wilayah pedesaan.
Menjawab tantangan inilah, sekelompok mahasiswa dari Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kelompok 21 Universitas Trunojoyo Madura (UTM) mengambil peran sebagai jembatan, menginisiasi program pendampingan adopsi teknologi QRIS di Desa Bajur, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan.
Program yang mereka jalankan bukan sekadar instalasi teknologi, melainkan sebuah upaya terstruktur untuk membuka gerbang inklusi keuangan. Ini adalah sebuah proses edukasi yang bertujuan mengubah pola pikir sekaligus memberikan alat baru bagi para pahlawan ekonomi lokal untuk dapat bersaing dan berkembang di era modern.
Bagi sebagian besar pemilik toko kelontong, warung makan, atau usaha rumahan di Desa Bajur, konsep “inklusi keuangan” mungkin terdengar asing. Namun, esensinya mereka rasakan setiap hari.
Keterbatasan pada transaksi tunai seringkali berarti kehilangan potensi pembeli, kesulitan dalam pengelolaan arus kas, dan yang terpenting, tertutupnya akses terhadap produk keuangan formal seperti pinjaman modal usaha karena tidak adanya riwayat transaksi yang tercatat secara digital.
“Kami melihat ini sebagai masalah fundamental. Inklusi keuangan bukan hanya tentang memiliki rekening bank atau menggunakan pembayaran digital. Ini tentang memberikan kesempatan yang setara,” ujar Rafi, koordinator Mahasiswa KKN Kelompok 21, saat diwawancarai pada selasa (22/7/2025).

“Dengan QRIS, setiap transaksi tercatat. Ini adalah langkah pertama bagi UMKM untuk membangun rekam jejak finansial yang kredibel, yang suatu saat nanti bisa menjadi modal mereka untuk berkembang lebih besar.”
Proses transisi dari konvensional ke digital ini dieksekusi dengan pendekatan personal dan terstruktur selama empat hari, dari 1 hingga 4 Juli 2025.
Tahap awal adalah yang paling menantang: membangun kepercayaan. Mahasiswa tidak langsung datang dengan aplikasi, melainkan dengan dialog. Mereka mendengarkan kekhawatiran para pemilik usaha. “Salah seorang pemilik toko, sebut saja Ibu Aminah, awalnya sangat khawatir datanya akan disalahgunakan atau uangnya hilang,” kenang Rafi.
“Tugas kami adalah menjelaskan dengan sabar, menunjukkan legalitas QRIS sebagai standar nasional dari Bank Indonesia, dan meyakinkan bahwa setiap transaksi aman.”
Setelah kepercayaan terbangun, tantangan teknis menanti. Proses pendaftaran menuntut pendampingan satu per satu. Ada gawai milik warga yang sistem operasinya perlu diperbarui, ada pula yang kesulitan saat harus melakukan swafoto dengan KTP untuk verifikasi.
“Kami bahkan sampai harus mencari titik tertentu di teras rumah warga hanya untuk mendapatkan sinyal internet yang stabil saat proses unggah dokumen. Momen-momen seperti ini mengajarkan kami banyak hal tentang kondisi nyata di lapangan,” tambahnya.
Edukasi dilanjutkan dengan simulasi. Salah seorang mahasiswa berperan sebagai pembeli, melakukan transaksi senilai beberapa ribu rupiah ke akun pemilik toko. Momen ketika suara notifikasi “Ting!” pertama kali berbunyi dari gawai pemilik toko menjadi sebuah pencapaian kecil yang disambut tawa dan kelegaan.

“Wajah mereka langsung berbinar. Itulah momen ‘aha!’ saat mereka sadar bahwa sistem ini benar-benar bekerja dan uangnya langsung masuk,” kata Rafi. Puncaknya adalah penyerahan papan akrilik QRIS secara resmi. Benda sederhana itu bukan lagi sekadar alat, melainkan simbol kebanggaan dan bukti bahwa mereka telah melangkah ke dunia baru.
Dampak program ini paling baik diceritakan oleh mereka yang merasakannya langsung. Bapak H. Ahmad, yang telah berjualan selama belasan tahun, mengaku kini lebih tenang. “Sekarang tidak was-was menyimpan banyak uang tunai di warung. Apalagi kalau ada pembeli dari luar desa atau anak-anak muda, mereka lebih suka bayar begini. Praktis sekali,” tuturnya.
Perspektif lain datang dari bapak Adi, seorang pemuda yang menjual minuman kekinian di depan rumahnya. “Bagi saya, ini soal citra usaha. Dengan adanya QRIS, warung saya jadi kelihatan lebih modern dan profesional. Ini juga memudahkan saya memisahkan uang usaha dengan uang pribadi,” katanya.
Kepala Desa Bajur, Bapak Abd Wakhid, memberikan apresiasi mendalam. “Inisiatif mahasiswa UTM ini adalah contoh konkret dari pengabdian kepada masyarakat yang berdampak langsung. Mereka tidak hanya datang, program, lalu pergi. Mereka meninggalkan sebuah sistem dan pengetahuan yang akan terus bermanfaat bagi kemajuan ekonomi desa kami,” ujar beliau.
Keberhasilan ini juga menunjukkan peran vital perguruan tinggi dalam pembangunan. Program KKN seperti ini menjadi laboratorium sosial bagi mahasiswa untuk menerapkan ilmu, melatih empati, dan menjadi problem solver di tengah masyarakat, sejalan dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Di luar fokus utama pada penguatan ekonomi digital, KKN Kelompok 21 juga sukses mengimplementasikan program multidisiplin lainnya, seperti sosialisasi anti-perundungan untuk membentuk karakter anak, pelatihan ecoprint sebagai sarana kreativitas berbasis lingkungan, serta optimalisasi aset digital desa melalui video profil dan website.
Kini, papan-papan QRIS yang berdiri di meja-meja warung Desa Bajur menjadi penanda sebuah harapan. Sebuah bukti bahwa dengan pendampingan yang tepat dan semangat kolaborasi, digitalisasi bukanlah sebuah konsep yang menakutkan, melainkan sebuah jembatan menuju peluang yang lebih luas.