Bayangkan skenario ini: seseorang yang selama ini dikenal dengan gaya hidup glamor, rajin berbicara soal moralitas dan kepentingan publik, mendadak menghilang. Bukan karena kecelakaan atau musibah, melainkan karena tiket pesawat yang telah disiapkan dengan rapi. Tujuannya? Melarikan diri ke luar negeri, jauh dari jangkauan hukum!
Kisah seperti ini bukan barang baru di negeri ini. Begitu aroma korupsi tercium dan status tersangka diumumkan, beberapa individu memilih menghilang tanpa jejak.
Salah satu kasus terbaru datang dari Bank BJB. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten baru saja menetapkan tiga tersangka terkait dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit modal kerja (KMK) di Bank BJB Cabang Kota Tangerang. Mereka adalah EBY, seorang relationship officer; DAS, manajer komersial; serta J, seorang pihak swasta. Kasus ini menambah panjang daftar skandal korupsi yang merugikan negara.
Jika mengikuti pola yang sudah berulang kali terjadi, bukan tidak mungkin ada lagi tersangka yang tiba-tiba “berlibur” ke luar negeri sebelum sempat diadili.
Fenomena ini secara tak langsung mengubah persepsi tentang perjalanan ke luar negeri.
Dulu, bepergian ke luar negeri adalah impian penuh kebanggaan. Anak-anak bercita-cita menempuh pendidikan di kampus-kampus ternama dunia seperti Harvard dan Cambridge. Orang tua menabung demi bisa merasakan liburan ke Eropa, menikmati salju, atau merasakan semilir angin musim semi di Jepang. Singkatnya, paspor dengan cap negara asing merupakan simbol kesuksesan.
Namun, zaman telah berubah. Pergi ke luar negeri kini lebih sering dikaitkan dengan kebutuhan ekonomi. Banyak pekerja migran Indonesia tersebar di berbagai negara, menjadi pilar ekonomi dengan mengirimkan triliunan rupiah ke tanah air. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik, pekerja konstruksi, asisten rumah tangga, hingga tenaga profesional di sektor kesehatan. Sayangnya, meskipun peran mereka begitu besar, mereka masih kerap dipandang sebelah mata.
Dari proses administrasi yang rumit di Indonesia, gaji yang tidak dibayar, eksploitasi tenaga kerja, hingga kasus kekerasan fisik dan mental—mereka menghadapi tantangan besar. Bahkan sejak di bandara, perlakuan diskriminatif kerap mereka terima: antrean lebih panjang, pemeriksaan lebih ketat, dan pandangan merendahkan.
Namun, bukan hanya pekerja migran yang memilih hengkang. Para profesional dan akademisi pun semakin banyak yang memutuskan untuk menetap di luar negeri karena merasa lebih dihargai. Dokter, ilmuwan, insinyur, akademisi, hingga pakar teknologi sering kali mendapatkan kesempatan lebih baik di luar negeri berkat fasilitas, apresiasi, dan prospek karier yang lebih menjanjikan. Banyak dari mereka yang awalnya berniat kembali, tetapi setelah bertahun-tahun menikmati lingkungan kerja yang mendukung, pulang ke tanah air bukan lagi pilihan utama.
Baca juga : Dihub Bangkalan Prediksi Lonjakan Pemudik Masuk Madura
Fenomena brain drain ini diperparah dengan negara-negara maju yang secara aktif merekrut talenta-talenta terbaik dari negara berkembang. Singapura, misalnya, menawarkan program khusus untuk menarik ilmuwan dan insinyur berbakat agar berkontribusi pada riset dan industri teknologi mereka. Kanada dan Australia bahkan menyediakan jalur cepat bagi tenaga kerja terampil untuk memperoleh kewarganegaraan.
Jika talenta terbaik terus direkrut oleh negara lain, siapa yang akan membangun negeri ini?
Lalu, muncullah tren baru: #KaburAjaDulu. Namun, ini bukan tentang pekerja migran, bukan pula tentang studi atau liburan. Ini tentang strategi pelarian bagi mereka yang tersandung kasus hukum.
Konsepnya sederhana: saat masalah hukum mengintai, segera pesan tiket. Ke luar negeri dulu, urusan nanti. Pejabat korup, pengusaha culas, hingga individu yang merasa terancam oleh jerat hukum lebih memilih hengkang ke negara lain. Dubai, Singapura, hingga Turki menjadi destinasi favorit. Tak perlu banyak persiapan, yang penting lolos imigrasi dan selamat!
Akibatnya? Pandangan masyarakat terhadap perjalanan ke luar negeri mulai bergeser. Seorang teman bercerita bahwa anaknya takut melanjutkan studi di luar negeri. Alasannya? “Takut dikira kabur dari kasus.” Konyol? Mungkin. Tragis? Tentu saja.
Padahal, sejak dahulu perjalanan ke luar negeri adalah sebuah bentuk pencarian ilmu, bukan pelarian dari tanggung jawab. Para penjelajah besar seperti Ibn Battuta dan Marco Polo melakukan perjalanan bukan untuk menghindar, tetapi untuk menimba ilmu dan berbagi wawasan. Di era modern, figur seperti Anthony Bourdain menjadikan perjalanan sebagai sarana eksplorasi budaya dan kuliner dunia.
Perjalanan selalu memiliki filosofi. Ada yang pergi untuk belajar, ada yang mencari jati diri, ada pula yang sekadar ingin menikmati keindahan dunia. Tren traveling pun terus berkembang. Dari backpacker yang berburu tiket promo hingga luxury traveler yang menikmati fasilitas eksklusif. Dari solo traveling yang menawarkan kebebasan hingga slow travel yang memberikan pengalaman lebih mendalam terhadap budaya lokal.
Jadi, apa yang bisa dipetik dari fenomena ini? Jika dulu bepergian ke luar negeri adalah suatu kebanggaan, jangan sampai kini berubah menjadi bahan tudingan. Pergilah dengan tujuan yang baik. Menuntut ilmu, mencari nafkah secara halal, atau sekadar mengeksplorasi budaya asing.
Bukan karena takut ditangkap KPK. Bukan untuk menghindari meja hijau. Bukan pula untuk menikmati hidup dengan uang haram di negeri orang.
Karena jika hanya ingin kabur, percayalah, ke luar negeri bukan solusi. Teknologi semakin maju, hukum semakin ketat. Bahkan interpol kini lebih aktif dalam memburu pelaku kriminal lintas negara. Bisa jadi, mereka tidak hanya dikejar di Indonesia, tetapi juga di negeri orang.
Jadi, jika ingin bepergian ke luar negeri, pastikan niatnya benar. Pergilah dengan alasan yang jelas, membawa manfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan bangsa. Jangan sampai perjalanan yang seharusnya penuh makna malah menjadi pelarian tanpa arah.