kerja Sama

Kirim Tulisan

Home

ic_fluent_news_28_regular Created with Sketch.

Berita

ic_fluent_phone_desktop_28_regular Created with Sketch.

Teknologi

Wisata

Pendidikan

Bisnis

Keislaman

ic_fluent_incognito_24_regular Created with Sketch.

Gaya Hidup

Sosial Media

Hukum Poligami dalam Islam: Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer

Penulis: Muniri Faqod, S.HI, M.HI

Hukum Poligami dalam Islam selalu menjadi perbincangan hangat, baik dari kalangan ulama, akademisi, hingga aktivis hak perempuan. Meski secara tekstual Al-Qur’an membolehkan seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri, nyatanya praktik poligami menyimpan banyak persoalan, baik dari sisi keadilan maupun kemanusiaan.

Potret Kekerasan Terselubung terhadap Perempuan

Syafiq Hasyim, seorang intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), dalam disertasinya memaparkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik yang tampak jelas maupun yang terselubung. Beberapa bentuk kekerasan tersebut meliputi:

  • Pengebirian eksistensi perempuan, seperti perlakuan tidak setara dalam keluarga.
  • Pembatasan ruang gerak perempuan, yang mengarah pada domestifikasi.
  • Pernikahan usia dini, yang menghilangkan hak anak perempuan atas masa mudanya.
  • Nusyuz, di mana perempuan dianggap bersalah jika menolak perintah suami, dan
  • Poligami, yang menjadi isu utama dalam diskusi ini.

Syafiq menyoroti bahwa praktik poligami yang dilakukan tanpa keadilan justru dapat menjadi bentuk kekerasan struktural terhadap istri.

Hukum Poligami Menurut Wahbah Zuhaili

Wahbah Zuhaili, seorang ulama ternama, menyatakan bahwa ketentuan poligami dalam Islam bukan hukum dasar pernikahan. Secara prinsip, Islam lebih mengutamakan monogami. Namun, dalam kondisi tertentu, poligami dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat utama:

  1. Mampu berlaku adil, khususnya dalam pembagian waktu dan perhatian antar istri.
  2. Mampu memberi nafkah lahir dan batin.
  3. Adanya alasan mendesak yang mewajibkan poligami, seperti istri tidak dapat mengandung atau sakit parah.

Zuhaili menegaskan bahwa apabila keadilan tidak bisa ditegakkan, maka poligami bisa menjadi haram. Hal ini berdasarkan prinsip maqasid al-syariah yang menekankan kemaslahatan.

Pendapat Muhammad Abduh: Poligami Hanya untuk Kondisi Darurat

Tokoh pembaharu Islam, Muhammad Abduh, memiliki pandangan tegas bahwa aturan beristri lebih dari satu hanya berlaku dalam kondisi darurat. Beliau menetapkan bahwa poligami harus dilarang jika tidak ada alasan kuat seperti:

  • Istri tidak mampu melahirkan keturunan.
  • Perempuan butuh perlindungan khusus.
  • Istri tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suami.

Menurut Abduh, memenuhi keadilan dalam poligami adalah syarat yang nyaris mustahil, sehingga praktik ini sebaiknya tidak dilakukan kecuali sangat terpaksa.

Nasr Hamid Abu Zaid: Keadilan Tidak Akan Tercapai

Nasr Hamid Abu Zaid melihat hukum poligami dalam Islam dari pendekatan prinsip universal seperti keadilan, kebebasan, dan kebahagiaan. Ia mengkritik para ulama klasik yang menafsirkan QS. An-Nisa: 3 tanpa mempertimbangkan konteks sejarah.

Abu Zaid menekankan bahwa ayat yang membolehkan poligami (QS. An-Nisa: 3) harus dibaca berdampingan dengan QS. An-Nisa: 129, yang menyatakan:

“Kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istri, meskipun kamu sangat menginginkannya.”

Dengan kata lain, keadilan sempurna mustahil tercapai, sehingga secara prinsipil, poligami tidak bisa dijadikan anjuran atau sunnah.

Amina Wadud: Reinterpretasi Berdasarkan Bahasa dan Peran Sosial

Amina Wadud, seorang mufassirah feminis, mengkaji ulang makna ayat-ayat tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an, termasuk QS. An-Nisa: 34 yang sering dijadikan dasar bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.

Menurutnya, kata “al-rijal” (laki-laki) berasal dari akar kata “rijlun” yang berarti kaki — simbol dari mobilitas, dinamika, dan pergerakan. Sedangkan “an-nisa” (perempuan) berasal dari “nasa’a” yang berarti lambat atau tertunda. Dari sini, ia berkesimpulan bahwa kedudukan pemimpin dalam rumah tangga tidak harus mutlak dimiliki laki-laki, melainkan siapa saja yang memenuhi syarat konsistensi dan kebijaksanaan.

Dari sinilah, Wadud menegaskan bahwa peran dalam rumah tangga bisa dipertukarkan, sesuai dengan kemampuan, bukan berdasarkan gender.

Kesimpulan: Menimbang Ulang Praktik Poligami di Era Modern

Meskipun poligami dalam Islam memiliki landasan teks, banyak pemikir kontemporer menilai bahwa praktik tersebut tidak lagi relevan secara sosial maupun keadilan. Ayat-ayat yang membolehkan poligami harus dibaca secara menyeluruh dan kontekstual, termasuk memperhatikan prinsip-prinsip dasar Islam: keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.

Sebagian besar ulama kontemporer menyarankan bahwa monogami adalah pilihan terbaik, kecuali dalam situasi luar biasa dan dengan syarat yang sangat ketat. Dalam konteks saat ini, keadilan dalam poligami hampir mustahil dicapai, sehingga praktik ini lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.

Penulis: Muniri Faqod, S.HI, M.HI
Direktur Konsensus Bhiruh Dheun Bangkalan dan Sekretaris Lakpesdam NU Bangkalan

Referensi:

  1. Syafiq Hasyim, Bebas dari Patriarkhi Islam (2010)
  2. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
  3. Amina Wadud, Qur’an and Woman
  4. Kamus Al-Bisri

Jika Anda ingin menelusuri lebih jauh tentang aturan poligami dalam Islam, diskusi ini bisa menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana teks suci ditafsirkan ulang demi menyesuaikan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan zaman ini.

Artikel Terkait :

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Postigan Populer

spot_img