Oleh: Moch Eksan
Garam? Semua pasti tahu itu bumbu dapur. Tapi yakin banyak yang tak sadar, sebagian garam yang dikonsumsi berasal dari impor. Lho kok bisa? Wong Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Paling panjang Kanada, disusul Indonesia, kemudian Norwegia, Rusia dan Filipina.
Pada 2020, produksi garam nasional capai 3,1 juta ton, sedangkan kebutuhan garam nasional tembus 4,6 juta ton per tahun. Mau tak mau, Indonesia harus mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Kebijakan impor garam satu sisi merugikan petani garam, namun sisi lain pemerintah terpaksa penuhi ketersediaan garam melalui impor. Produksi garam dalam negeri tak bisa diandalkan lantaran minat bertani garam terus melemah.
Banyak petani garam beralih profesi sebab nilai keekonomian pertanian garam mengalami penurunan drastis. Cuaca yang tak menentu, curah hujan yang tinggi, harga yang rendah, garam impor yang banjir, yang menyebabkan sebagian mereka malas bertani garam lagi.
Kondisi ini tak bisa dibiarkan, sebab sangat ironis dan tragis. Indonesia sebagai negara maritim tak mampu swasembada garam. Padahal, 71 persen wilayah negeri ini lautan. 95 ribu km2 lebih panjang garis pantai dari Sabang sampai Merauke. Tapi mengapa petani garam belum bisa menyetop impor?
Impor garam bukan sekadar soal ketersediaan barang, akan tetapi menyangkut kedaulatan negara. Para leluhur bangsa ini adalah pelaut handal yang bangun kekuatan politik militer dan ekonomi di atas sumberdaya kelautan. Sehingga, ada slogan “Jalesveva Jayamahe (Di laut kita berjaya).
Slogan di atas kini bak jargon The King Of Lips Service. Sumberdaya kelautan Indonesia yang berpotensi memberikan pendapatan di atas Rp. 1772 triliun, tak bisa tercapai lantaran egosektoral, disorientasi program, serta ilegal fishing negara lain.
Puji Rahmadi, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI merinci potensi sumbangsih keekonomian dengan detail kekayaan laut Indonesia, meliputi wilayah pesisir berpotensi Rp. 560 triliun, bioteknologi Rp. 400 triliun, perikanan Rp. 312 triliun, minyak dan bumi Rp. 210 triliun, transportasi laut Rp.200 triliun, terumbu karang 45 triliun, mangrove Rp. 21 triliun, wisata bahari Rp. 21 triliun, dan lamun Rp. 4 triliun.
Garam, tambak dan industri ikan masuk dalam potensi keekonomian wilayah pesisir yang merupakan bagian potensi bidang kelautan terbesar. Sayangnya, alokasi anggaran kelautan dan perikanan pada 2020 hanya 6,47 triliun. Pada 2021 naik sedikit menjadi 6,65 triliun. Sebagai umpan, anggaran ini relatif kecil untuk menjadikan bidang kelautan dan perikanan sebagai kontributor primadona bagi Product Domistic Bruto (PDB).
Konsumsi garam bagi rumah tangga dan industri memang memiliki kontribusi bagi PDB, namun sayangnya, konsumsi garam nasional juga bergantung pada impor garam dari luar negeri. BPS menyebutkan, sepanjang 2020, tercatat 2,61 juta ton garam yang didatangkan dari luar negeri. Impor garam ini senilai US$ 94,55 juta atau sama dengan Rp 1,36 triliun.
Memang bagi pemerintah, impor garam merupakan kebijakan jalan pintas untuk memenuhi stok garam nasional, namun kebijakan ini pertanda para pengambil kebijakan di negeri ini malas berfikir dan berusaha keras untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian garam. Selain, enggan melakukan pendampingan terhadap petani yang wegah-wegahan bertani garam kembali. Lengkap sudah wajah buruk pergaraman nasional.
Apakah ini akan dibiarkan? Tentu tidak. Indonesia membutuhkan terobosan baru, untuk mengembalikan kejayaan garam menuju Kedaulatan negara. Pemberian bantuan ongkos garap, biaya perawatan, jaminan asuransi petani garam sampai subsidi produk garam merupakan langkah yang harus ditempuh untuk memberdayakan petani garam, sehingga tak mudah beralih profesi dan membiarkan 24 ribu hektar lebih lahan garam terbengkalai. (*)
Penulis adalah pendiri Eksan Institute.