Meski telah diklarifikasi langsung oleh Mendikbud Nadiem Makarim dalam akun resmi Kemendikbud dan diunggah di Youtube pada tanggal 20 September 2020, Bola panas polemik penghapusan mata pelajaran sejarah bagi siswa SMA dan sederajat terus bergulir. Mendikbud menegaskan tidak ada kebijakan, regulasi, atau rencana menghapuskan mata pelajaran Sejarah di kurikulum nasional.
Tetapi tidak ada asap jika tidak ada api, Pada faktanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang berencana membuat mata pelajaran sejarah menjadi tidak wajib dipelajari siswa SMA dan sederajat. Di kelas 10, sejarah digabung dengan mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS).
Sementara Bagi kelas 11 dan 12 mata pelajaran sejarah hanya masuk dalam kelompok peminatan yang tak bersifat wajib. Hal itu tertuang dalam file sosialisasi Kemendikbud tentang penyederhanaan kurikulum dan asesmen nasional yang akan diterapkan Maret 2021. (CNNIndonesia.com, 18/09/2020).
Dalam file tersebut dijelaskan bahwa mata pelajaran sejarah Indonesia tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa SMA/sederajat kelas 10. Melainkan digabung di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Padahal, dalam kurikulum 2013 yang diterapkan selama ini, mata pelajaran Sejarah Indonesia harus dipelajari dan terpisah dari mata pelajaran lainnya. Kemudian untuk siswa kelas 11 dan 12 SMA/sederajat, mata pelajaran sejarah juga tidak wajib dipelajari.
File dimaksud adalah Keputusan Mendikbud RI Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) yang disiapkan karena Pandemi Covid-19 oleh Kemendikbud merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional. Pada kurikulum tersebut dilakukan pengurangan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran .
Sejak Februari 2020, tim Kemendikbud menyusun penyederhanaan kurikulum dan asesmen nasional. Dalam mata pelajaran Sejarah Kemendikbud menempatkan mata pelajaran Sejarah sebagai mata pelajaran pilihan di SMA, bahkan menghilangkannya di SMK.
UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar amenjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut setidaknya terangkum dalam pendidikan agama, kewarganegaraan dan sejarah. Karena itu penyusunan kurikulum darurat tersebut patut untuk diapresiasi dengan tetap memperhatikan tujuan dari pendidikan nasional.
Misi dari Mendikbud yang disampaikan adalah memajukan pelajaran sejarah, karena itu permasalahannya saat ini bukan lagi soal dihapus atau tidak, tetapi harusnya memperhatikan sejauh mana upaya Mendikbud untuk mengoptimalkan materi pada mata pelajaran sejarah sehingga sesuai dengan misinya serta tujuan pendidikan nasional.
Mencari Relevansi
Misi Mendikbud yang disampaikan dalam unggahan terkait klarifikasi tersebut juga menimbulkan tanda tanya tersendiri. Menjadikan sejarah relevan bagi generasi muda.
Jadi, selain kekhawatiran beberapa pihak bahwa penghapusan mata pelajaran Sejarah in juga akan menghapus sejarah kelam pemberontakan PKI di negeri ini, pernyataan berulang-ulang Mendikbud tentang relevansi sejarah dengan generasi muda dan identitas nasionalis bangsa juga mengungkapkan sesuatu yang juga harus diwaspadai.
Setelah sebelumnya pada Kurikulum Depag materi Khilafah dimasukkan dalam mata pelajaran sejarah, berikutnya menyusul jika misalnya di kemudian hari sejarah Islam dan Khilafah dianggap tidak relevan dan tidak sesuai dengan identitas (baru) bangsa yang nasionalis apakah nantinya juga sejarah Islam tersebut akan dihilangkan begitu saja?
Sesungguhnya sejarah bukan sekedar menghafal sederetan catatan nama, tempat dan tanggal suatu peristiwa. Sejarah adalah rangkaian rekam jejak panjang perjalanan bangsa ini, ada benang merah pada masing-masing bagian, yang padanya kita bisa mengambil ibrah.
Tidak ada bagian bagian dari sejarah yang tidak relevan. Mencari relevansi sejarah dengan masa kini adalah berarti menggali setiap penggalan jejak bangsa ini, yang justru malah membutuhkan pengajaran sejarah secara utuh, dari A hingga Z bangsa. Membanggakan dan menginspirasi atau tidak, sebagaimana pernyataan Nadiem tentang kolektif memori yang disampaikan dalam unggahan tersebut, bergantung kepada sudut pandang penulisan dan penyampaiannya
Perlawanan Pangeran Trunojoyo misalnya, dengan pengkajian secara utuh tentang Pangeran tersebut, asal-usul dan hubungannya dengan Mataram, ini hendaklah dipandang sebagai sebuah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda bukanlah sekedar pemberontakan terhadap Kesultanan Mataram.
Menurut Sartono Kartodirjo, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme, 1973). Sebab selain Pangeran Trunojoyo adalah Raja Madura, beliau juga adalah seorang Pangeran Mataram. Beliau adalah putra dari Cakraningrat I sekaligus cucu dari Sultan Agung.
Perlawanan yang menggerakkan perlawanan dari hampir seluruh nusantara ini terjadi setelah Kesultanan Mataram setelah wafatnya Sri Sultan Agung dan naik tahtanya Sultan Amangkurat I bersekutu dengan Belanda.
Bahkan seorang Sejarahwan Belanda, H.J. De Graaf (1987) dalam buku Runtuhnya Istana Mataram, menuliskan bahwa perlawanan in mendapatkan dukungan penuh dari seluruh wilayah Madura, Surabaya, Jawa bagian utara hingga ke Banyuwangi, kesultanan Banten dan juga kerajaan Makassar.
“… Dan hendaklah masing-masing diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya (sejarahnya) demi masa depannya” (TQS. Al-Hasyr ayat 18).
Seorang muslim mendapatkan pelajaran langsung dari kisah-kisah di Al-Qur’an, kitab-kitab Sirah Nabawiyah dan Tarikh. Dan sebagai warga negara, kita akan menemukan bahwasanya Islam adalah akar dari sejarah panjang negeri ini.
Bagaimanapun, belajar sejarah dan memahaminya itu sangat penting. Sama pentingnya dengan menerapkan metode penulisan dan penyampaian sejarah yang lurus, tanpa pembiasan oleh berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik dan penguasa. Sejarah adalah sejarah, guru bagi kehidupan. Biarkan ia yang bicara, kita hanya perlu mengkaji dan menjadikannya ibrah. (*)
Selamat malam. Bisakah saya mendapatkan kontak Ibu Nurul Huzaimah? Sumardiansyah (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia)