Di era ini, sinyal selalu kuat, tapi koneksi manusia semakin lemah. Kita punya ribuan teman di media sosial, tapi siapa yang benar-benar bisa diajak bicara tanpa harus mengetik dulu? Kita bisa melihat kehidupan siapa saja, tapi seringkali lupa melihat wajah orang yang ada di depan kita.
Meja makan bukan lagi tempat berbagi cerita, tapi sekadar stasiun pengisian daya. Kita duduk bersama keluarga, tapi lebih sibuk dengan layar. Makanan terhidang di depan mata, tapi tangan lebih rajin menggulirkan berita yang entah dari mana. Obrolan yang dulu hangat, kini berganti sunyi. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah notifikasi.
Media sosial membuat kita merasa dekat dengan banyak orang, tapi jauh dari orang-orang yang benar-benar ada di samping kita. Kita sudah berbuat baik hari ini: menyukai unggahan orang lain, meninggalkan komentar manis, dan membagikan berita yang bahkan belum sempat kita baca isinya. Seakan-akan dengan semua itu, kita sudah cukup peduli.
Baca juga : Efisiensi Anggaran, Kebijakan Menguntungkan Rakyat?
Kita juga rajin berdzikir: scroll, scroll, scroll. Memastikan tidak ada yang terlewat, meski hidup nyata justru semakin banyak yang hilang. Kita takut ketinggalan tren, takut melewatkan update terbaru, tapi tak sadar sudah lama tertinggal dalam kehidupan yang sebenarnya. Kita sibuk melihat kehidupan orang lain, tapi lupa menjalani hidup sendiri.
Dunia digital memang menarik. Semua ada dalam genggaman, semua serba instan. Hiburan melimpah, informasi berlimpah. Tapi semakin kita larut di dalamnya, semakin kita merasa kosong. Ada banyak tawa di layar, tapi sunyi di dalam hati. Ada banyak sapaan di kolom komentar, tapi kamar kita tetap sepi.
Teknologi bukan musuh, tapi jika kita terus membiarkan layar menggantikan tatapan mata, kita akan semakin asing di dunia yang semakin sibuk sendiri. Mungkin sudah saatnya kita berhenti mencari sinyal dan mulai mencari makna. Mungkin sudah saatnya kita menutup layar, menatap wajah orang-orang yang masih ada, sebelum mereka benar-benar tiada.
Oleh : Moh Yahya Amrullah