Dalam lintasan sejarah Islam di Nusantara, nama-nama besar dari kalangan pria lebih banyak mewarnai lembaran-lembaran pentingnya. Namun, bukan berarti tidak ada kontribusi perempuan dalam perjalanan sejarah tersebut. Salah satu sosok perempuan yang jarang disebut namun memiliki peran luar biasa adalah Nyai Sunan Cendana, istri dari Sunan Cendana atau Sayyid Zainal Abidin, seorang waliyullah besar di kawasan Madura Barat, khususnya di Kwanyar, Bangkalan.
Nama Nyai Sunan Cendana mungkin asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan di kalangan peneliti sejarah lokal. Namun, ketokohan dan pengaruhnya sangat besar, terutama karena ia merupakan leluhur dari banyak tokoh penting di Madura dan kawasan Tapal Kuda Jawa Timur. Peran beliau sebagai ibu, pendidik, dan penjaga nilai-nilai spiritual dalam keluarga ulama besar memberikan pengaruh yang terus mengakar hingga hari ini.
Perempuan dan Sejarah: Sebuah Realitas yang Terpinggirkan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah seringkali bias terhadap peran perempuan. Dalam literatur klasik, tokoh-tokoh perempuan jarang sekali mendapatkan sorotan yang setara dengan tokoh laki-laki. Hal ini tidak hanya terjadi dalam sejarah umum, tetapi juga dalam sejarah Islam. Padahal, dalam praktiknya, banyak tokoh laki-laki besar lahir dan dibesarkan dalam pelukan dan didikan perempuan luar biasa.
Contohnya adalah Imam Syafi’i, yang dikenal sebagai pendiri salah satu mazhab besar dalam Islam, dibesarkan oleh ibunya sendiri setelah ditinggal wafat oleh ayahnya. Begitu juga dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dikenal sebagai Sultanul Awliya’, yang besar dalam bimbingan ibunya. Peran keibuan yang dijalani oleh perempuan inilah yang menjadi pilar utama dalam membentuk peradaban dan tokoh besar di berbagai zaman.
Siapakah Nyai Sunan Cendana?
Nyai Sunan Cendana, atau dikenal juga dengan nama Nyai Cendana, adalah istri pertama dari Sunan Cendana (Sayyid Zainal Abidin). Dalam struktur sosial dan budaya Madura, ia menempati posisi yang sangat penting dan terhormat, setara dengan gelar permaisuri atau padmi dalam tradisi bangsawan. Meski sangat jarang disebut dalam babad atau literatur sejarah tertulis, eksistensi Nyai Sunan Cendana dapat ditemukan dalam catatan silsilah yang disusun oleh para pemerhati nasab keturunan Wali Sanga di Madura, khususnya melalui lembaga seperti Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT) dan 5Wali Institute.
Menurut penelusuran silsilah, ayah Nyai Sunan Cendana adalah Pangeran Bukabu, anak dari Pangeran Mandaraga dan Nyai Gede Kentil. Garis keturunannya berasal dari Kudus, yang jika ditarik lebih jauh lagi, berhubungan dengan Panembahan Kalijaga, putra dari Sunan Kudus—salah satu dari Wali Sanga.
Menariknya, dari catatan silsilah ini juga diketahui bahwa Nyai Gede Kentil (nenek Nyai Cendana) adalah saudara dari Nyai Gede Kedaton, ibu dari Sunan Cendana. Ini berarti, antara Sunan Cendana dan Nyai Sunan Cendana memiliki hubungan saudara sepupu. Dalam konteks sosial budaya waktu itu, pernikahan antar keluarga dekat bukanlah hal yang tabu, bahkan sering dilakukan untuk menjaga kemurnian garis keturunan dan mempererat ikatan kekeluargaan dalam trah bangsawan dan ulama.
Kiprah dan Peran dalam Jejak Keturunan
Meski tidak banyak catatan mengenai aktivitas publik Nyai Sunan Cendana, namun kontribusinya dapat dilihat dari keturunan-keturunan beliau yang kemudian menjadi tokoh penting di berbagai daerah. Dari pernikahan dengan Sunan Cendana, lahirlah anak sulung bernama Kiai Putramenggolo, yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sunan Putramenggolo, Panembahan Sampang, atau Kiai Adipati Putromenggolo.
Kiai Putramenggolo adalah sosok waliyullah besar di Madura Barat yang memiliki keturunan luas hingga ke Madura Timur dan Tapal Kuda Jawa Timur. Dari salah satu putranya, yaitu Pangeran Saba Pele, lahir Raden Macan Alas Waru, tokoh penting yang menjadi leluhur para bangsawan dan ulama besar di wilayah Pamekasan dan sekitarnya.
Jejak keturunan Nyai Sunan Cendana tidak berhenti di situ. Salah satu cucu dari Raden Macan Alas, yaitu Raden Entol Anom alias Raden Ario Onggodiwongso, pernah menjabat sebagai Patih Sumenep dan merupakan leluhur dari Kiai Demang Singoleksono Ambunten, seorang waliyullah yang dikenal dengan tradisi spiritual Sintung di Madura.
Saudara Raden Entol Anom, Raden Entol Janingrat, juga memiliki keturunan penting yaitu Nyai Agung Waru, yang menjadi leluhur keluarga besar pesantren ternama seperti Pondok Pesantren Banyuanyar dan Pondok Pesantren Bata-bata di Pamekasan. Dari garis keturunan ini juga lahir Nyai Halimah, istri dari KH Abdul Hamid bin Itsbat, seorang ulama besar dari Tempurejo, Jember.
Nyai Sunan Cendana, Tokoh Mastur dengan Warisan Abadi
Menariknya, meskipun keturunannya sangat masyhur dan berpengaruh di berbagai wilayah, tidak ada catatan yang rinci mengenai kehidupan pribadi Nyai Sunan Cendana. Tidak diketahui secara pasti kapan beliau lahir dan wafat, atau di mana pusaranya berada secara pasti. Namun, sebagaimana tradisi Islam Jawa dan Madura, makam tokoh-tokoh besar seperti beliau tetap menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi hingga saat ini.
Hal ini menandakan bahwa meskipun beliau adalah sosok mastur—yakni tokoh yang tersembunyi atau tidak menonjol secara publik—namun keberadaan dan jasanya tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat, terutama melalui keturunannya yang terus melanjutkan perjuangan dakwah dan pendidikan Islam.
Penutup
Nyai Sunan Cendana bukan hanya sekadar tokoh pelengkap dalam sejarah suaminya, Sunan Cendana. Ia adalah perempuan yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk generasi ulama dan pemimpin di Madura dan sekitarnya. Meski sejarah menempatkannya di balik bayang-bayang, jejaknya tetap nyata dan berpengaruh hingga kini.
Melalui keturunannya yang menjadi ulama besar, pemimpin masyarakat, dan penjaga tradisi Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Nyai Sunan Cendana menunjukkan kepada kita bahwa kekuatan perempuan tidak harus selalu tampil di panggung depan. Kadang, kekuatan sejati justru hadir dari balik tirai, mendidik dalam keheningan, dan membesarkan dalam kesabaran.
Sudah waktunya sosok-sosok seperti Nyai Sunan Cendana mendapat tempat lebih besar dalam historiografi Islam Nusantara. Bukan hanya sebagai istri seorang wali, tetapi sebagai ibu peradaban yang berakar kuat dan menumbuhkan generasi emas hingga hari ini.