Oleh: Dwi Indah Lestari, S.TP, Pemerhati Persoalan Publik
Sapu Jagat, sepertinya memang layak disematkan pada Omnibus Law UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan. UU ini telah sukses membuat Indonesia menjadi gonjang-ganjing dengan gelombang aksi penolakan terhadapnya selama beberapa minggu terakhir. Tak cukup hanya melibas hak buruh, UU ini juga disinyalir turut mengusik sertifikasi halal yang selama ini “sakral” demi kemudahan investasi.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah saat dihubungi sebuah media pada Rabu, 7 Oktober 2020, mengatakan UU Cipta Kerja berpotensi melemahkan peran MUI dan Kementerian Agama dalam Sistem Jaminan Halal. Hal ini disebabkan karena UU tersebut memungkinkan produsen untuk melakukan “self declare” pada produknya sehingga memungkinkan tidak jelas kehalalannya. Padahal halal itu adalah hukum syariah Islam yang merupakan domain dan kewenangan ulama.
Sementara itu anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub dalam dialog dengan PRO-3 RRI, 14 Oktober 2020, menilai, kebijakan dalam UU Cipta Kerja yang memberikan alternatif sertifikat halal tidak hanya bisa diberikan oleh MUI tetapi bisa juga oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sangat berbahaya. Sebab bagaimana mungkin BPJPH mengeluarkan sertifikat halal tanpa fatwa, yang bisa jadi melanggar syariat.
Sertifikasi Halal Tak Lagi Sakral
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia dengan umat Islam yang menjadi mayoritas penduduknya, adalah daya tarik bagi para pelaku usaha. Untuk itu penyediaan label halal pada produknya menjadi krusial. Meski tidak hidup dalam negara yang menerapkan hukum Islam, masyarakat muslim Indonesia sangat concern terhadap status halal produk-produk yang dikonsumsinya. Adanya label halal akan lebih dipilih karena dianggap memberikan jaminan tidak adanya unsur haram pada apa saja yang digunakannya.
Mungkin karena itulah, sertifikasi halal menjadi hal yang turut dibahas dalam UU Cipta Kerja. Hal ini juga sejalan dengan program Kawasan Industri Halal (KIH) yang saat ini tengah digarap oleh pemerintah untuk mewujudkan cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia. Kemudian untuk lebih menarik investor agar menanamkan modalnya pada sektor ini, dilakukan penyederhanaan sertifikasi halal yang telah dilegalisasi melalui UU Cipta Kerja.
Selama ini pemberian sertifikat halal menjadi hak MUI. Namun kini, dengan dalih untuk lebih memberikan kemudahan bagi pelaku usaha, UU Cipta Kerja ternyata telah memangkas sejumlah ketentuan yang ada dalam UU sebelumnya yaitu UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Ketentuan baru tersebut kemudian disinyalir merusak kesakralan sertifikasi halal yang selama ini diperoleh dengan fatwa ulama.
Beberapa hal yang menjadi persoalan adalah, pertama, dihapuskannya persyaratan harus memperoleh sertifikat dari MUI bagi auditor halal. Auditor halal sendiri adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Tidak dilibatkannya MUI dalam sertifikasi auditor halal akan menyebabkan kemampuan menilai kehalalan produk oleh auditor berpotensi meragukan. Sebab jelas yang lebih memahami seluk beluk sertifikasi sesuai syariah Islam adalah ulama, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh MUI.
Kedua, adanya kemudahan mendapatkan sertifikat halal dengan “self declare” dari pelaku usaha bahwa produk yang dihasilkannya halal. Dalam pengurusan Jaminan Produk Halal (JPH), deklarasi mandiri dimungkinkan oleh UU Cipta Kerja. Hal tersebut jelas berbahaya, sebab akan menjadikan produsen dapat bermain dalam penyediaan data yang jujur terkait dengan apa yang diproduksinya. Apalagi kemudian MUI hanya diberi waktu 1 hari untuk mengeluarkan fatwa halal sejak pengajuan. Bila fatwa tidak dihasilkan sampai batas waktu, BPJPH dapat menerbitkan sendiri sertifikat halal.
Hal ini dapat menyebabkan “stempel” halal dikeluarkan secara serampangan. Akibatnya justru produk menjadi syubhat, disebabkan karena proses sertifikasinya yang penuh dengan kekacauan dan tidak sesuai syariah. Kemudahan yang diberikan untuk produsen dalam hal ini tidak selaras dengan perlindungan pada konsumen untuk benar-benar dapat mengkonsumsi produk halal.
Beginilah bila pandangan kapitalistik diterapkan dalam segala urusan. Bahkan untuk hal yang menyentuh pada hajat masyarakat akan produk halal tidak benar-benar dijalankan sesuai syari’at Islam demi mengeruk keuntungan. Dalam rangka menarik investor, kesakralan sertifikasi halal dikorbankan. Fatwa ulamapun bisa dikesampingkan bila dinilai menghambat.
Tentu saja korporasilah yang paling diuntungkan dalam hal ini. Sementara rakyat lagi-lagi menjadi korban. Padahal produk halal adalah hal yang vital bagi umat Islam. Negara seharusnya tidak mengorbankan standar halal yang sesuai syariah dan menjadikannya ladang bisnis.
Sistem Islam Menjamin Standar Halal Sesuai Dengan Syariah
Berbeda dengan pandangan kapitalis yang menilai segala sesuatu dengan uang, Islam memandang perkara produk halal adalah persoalan urgen sebab berhubungan dengan apa yang dikonsumsi oleh jutaan umat Islam. Untuk itu kesesuaian dengan syariah harus dipastikan agar dapat memberikan jaminan perlindungan dari unsur-unsur yang diharamkan.
Negara adalah pihak yang bertanggungjawab memberikan jaminan tersebut kepada rakyatnya. Sebab dalam Islam, negara adalah pengurus dan penanggungjawab urusan umat. Demi kemaslahatan umat, negara harus mengambil peran sentral untuk menjamin mutu dan kehalalan barang.
Untuk itu dalam proses sertifikasi halal sebuah produk, negaralah yang akan menjaminnya dengan biaya semurah-murahnya bahkan gratis, bukan dijadikan ajang bisnis. Biaya yang dibutuhkan untuk sertifikasi halal akan diambil dari Baitul Maal. Dengan begitu produsen dapat memperoleh sertifikat halal tanpa terbebani biaya tinggi.
Jaminan produk halal akan dilakukan mulai dari bahan-bahan utama dan bahan tambahan yang digunakan, proses produksi, alat-alat yang digunakan, proses pengemasan hingga distribusi sampai ke tangan konsumen. Semuanya akan melalui inspeksi yang ketat untuk menghindarkan dari pencemaran zat-zat haram.
Tentu saja auditor-auditor yang dipilih untuk melakukan pemeriksaan harus memiliki kompetensi yang telah disertifikasi sesuai syariah, agar hasilnya benar-benar tidak diragukan. Penerbitan sertifikat halal akan dikeluarkan setelah dilakukan pengkajian dari hasil pemeriksaan hingga diperoleh fatwa kehalalan produk.
Dengan begitu konsumen tidak perlu bingung dalam memilih produk halal, sebab negara memberikan kepastian bahwa barang-barang yang beredar adalah halal. Bahkan negara dalam sistem Islam juga akan memastikan produk haram tidak dijual bebas sehingga menambah ketenangan umat Islam.
Pemberian jaminan produk halal oleh negara disertai pula dengan pemberlakuan sanksi pada setiap pelaku usaha yang memproduksi atau memperjualbelikan barang haram, maupun konsumen muslim yang menggunakannya. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi moral dan fisik.
Selain itu, negara akan terus membangun kesadaran masyarakat muslim agar peduli dan hanya mengonsumsi produk-produk halal saja. Sebab jaminan produk halal dari negara akan sia-sia bila rakyatnya tidak peduli. Di samping itu umat juga berperan untuk melakukan pengawasan terhadap berbagai produk yang beredar. Dengan kontrol dari umat, negara akan mendapatkan masukan terkait mutu dan status produk yang ada di pasar, sehingga jaminan produk halal akan lebih mudah ditegakkan.
Demikianlah sistem Islam menyelesaikan persoalan produk halal di masyarakat. Sinergi antara umat dan negara dalam konsumsi barang halal didorong oleh keimanan yang kuat terpancar dari sistem hidup yang dijalankan. Negara benar-benar melindungi rakyatnya dari keharaman, baik dari aturan hidup maupun barang dan makanan yang dikonsumsinya. Sehingga keberkahan hidup dunia akhirat akan bisa diraih. Wallahu’alam bisshowab.
Isi tulisan ini tidak menjadi tanggungjawab redaksi, tapi sepenuhnya tanggungjawab penulis.