Dalam beberapa bulan pertama tahun 2025 pada awal pemerintahan Prabowo , Indonesia menghadapi berbagai persoalan hukum yang mencerminkan tantangan dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Artikel ini akan membahas beberapa kasus menonjol yang terjadi baru-baru ini, termasuk kontroversi seputar Peraturan Kepolisian No. 3 Tahun 2025, kasus pembunuhan di luar hukum oleh anggota TNI, serta peningkatan jumlah vonis hukuman mati.
Kontroversi Peraturan Kepolisian No. 3 Tahun 2025
Pada awal April 2025, Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 3 Tahun 2025 yang mengatur tentang kerja sama antara media dan kepolisian.
Namun, peraturan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dan Amnesty International Indonesia. Mereka menilai bahwa Perpol ini melanggar prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Pers.
Peraturan tersebut dianggap membuka ruang bagi tindakan represif terhadap jurnalis, baik dalam negeri maupun asing, serta memperpanjang birokrasi dalam kerja jurnalistik di Indonesia. Selain itu, Perpol ini dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dengan Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Kritik lainnya datang dari Hukumonline.com yang menyatakan bahwa Perpol No. 3 Tahun 2025 melangkahi kewenangan Komisi Digital (Komdigi) dan Dewan Pers.
Kepolisian dianggap mengambil alih secara sepihak kewenangan yang seharusnya berada di bawah Komdigi dan Dewan Pers, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Pembunuhan di Luar Hukum oleh Anggota TNI
Pada Maret 2025, terjadi insiden tragis di Lampung di mana tiga anggota Polri tewas akibat tindakan di luar hukum yang dilakukan oleh anggota TNI. Amnesty International Indonesia mencatat bahwa insiden ini menambah daftar panjang kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, dengan total sembilan kasus dan sebelas korban dari Januari hingga Maret 2025.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyoroti bahwa pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi tanpa henti, menegaskan awal yang buruk bagi penegakan hak asasi manusia di pemerintahan baru.
Insiden-insiden semacam ini menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam di kalangan masyarakat, terutama ketika tidak ada transparansi dan akuntabilitas yang memadai dari mekanisme hukum.
Amnesty International Indonesia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus-kasus semacam ini untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat keamanan.
Peningkatan Vonis Hukuman Mati
Indonesia juga mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah vonis hukuman mati pada awal tahun 2025. Amnesty International melaporkan bahwa Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap jumlah vonis hukuman mati secara global.
Sebanyak 64 dari 85 terpidana mati di Indonesia pada tahun 2024 terkait dengan kasus narkotika, sementara sisanya terkait dengan kasus pembunuhan.
Selain itu, hingga Februari 2025, Kejaksaan Agung telah menuntut pidana mati terhadap 326 orang atas kasus narkotika.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Asep Nana Mulyana, menyatakan bahwa penuntutan hukuman mati ini merupakan bentuk tindakan tegas dalam melawan peredaran narkotika di Indonesia.
Upaya Memperbaiki Citra Penegakan Hukum
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia (DPN Peradi-SAI), Jhon S.E Panggabean, mengajak semua pihak untuk menjadikan tahun 2025 sebagai momen untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum.
Beliau menekankan pentingnya komitmen nyata dari seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat luas, dalam melanjutkan reformasi dan memperkuat kepercayaan terhadap sistem hukum.
Kasus Pagar Laut di Tangerang
Pada Januari 2025, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengungkap adanya 13 pelanggaran hukum dalam kasus pembangunan pagar laut di Tangerang, Banten.
PBHI menyebut bahwa proyek tersebut melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan dalam proyek pembangunan untuk memastikan kepentingan masyarakat dan lingkungan terlindungi.
Revisi Undang-Undang Militer
Pada Maret 2025, kelompok hak asasi manusia di Indonesia mendesak parlemen untuk menolak revisi Undang-Undang Militer yang kontroversial.
Revisi tersebut memungkinkan personel militer untuk menduduki lebih banyak posisi sipil, yang dikhawatirkan akan membawa Indonesia kembali ke era dominasi militer seperti pada masa pemerintahan Suharto.
Kelompok hak asasi manusia, termasuk Lembaga Bantuan Hukum dan Amnesty International Indonesia, berpendapat bahwa revisi ini mengancam demokrasi dan berpotensi menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia serta impunitas. Rencana Pemberian Amnesti bagi Narapidana Papua Presiden Prabowo