Pojoksuramadu.com – Pasca aksi demonstrasi 25-31 Agustus lalu, pihak kepolisian menetapkan 959 orang sebagai tersangka. Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Syahar Diantono, menyebutkan data itu dalam konferensi pers di Markas Besar Polri, Jakarta, Rabu, 24 September 2025.
Penetapan tersangka dilakukan atas dasar 246 laporan polisi yang tersebar di 15 Polda. Dari total tersangka tersebut, ada 295 anak yang ditetapkan sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA ( Sistem Peradilan Pidana Anak). 68 anak yang diproses melalui mekanisme diversi, 56 anak yang sudah tahap II (berkas dilimpahkan ke kejaksaan), 6 anak dengan berkas lengkap (P21), serta 160 anak yang masih dalam tahap pemberkasan.
Namun Komisioner KPAI Aris Adi Leksono berpendapat penetapan tersangka kerusuhan di atas tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak sesuai UU Peradilan Anak, di antaranya ada yang diperlakukan tidak manusiawi, diancam, bahkan dikeluarkan dari sekolahnya (kompas com, 26/9/2025).
Bahkan Dinas Pendidikan, menurut Aris tidak melakukan tindakan apa pun untuk mencegah anak yang terlihat demonstrasi dikeluarkan dari sekolahnya. Sementara dari laporan yang diterima KPAI, anak-anak itu hanya ikut-ikutan dan terpengaruh media sosial.
Kesadaran Politik Gen Z Dikriminalisasi
Tak bisa dipungkiri, aksi kerusuhan akhir Agustus lalu, yang awalnya bagian dari mengkritik kebijakan pajak pemerintah yang tak masuk akal saking tingginya, berakhir anarkis hingga penjarahan memang tak bisa dibenarkan.
Namun ada satu fakta yang sangat perlu dicermati, Gen Z yang identik dengan generasi rebahan, mager (malas gerak), apotik ternyata justru menjadi bagian dari aksi itu, terlepas dari anarkis yang terjadi setelahnya. Artinya, Gen Z menunjukkan sadar politik dan juga berani menuntut perubahan atas ketidakadilan.
Meski mungkin ketidakadilan itu tidak mereka rasakan langsung karena masih bisa beraktifitas normal sehari-hari, namun mereka menunjukkan kepedulian. Muncul rasa bahwa satu masalah adalah masalah bersama yang harus disuarakan agar bisa berubah. Terlebih respon penguasa di negeri ini sangat lamban, menunggu viral baru ada tindakan.
Sayangnya, munculnya kesadaran politik itu justru dikriminalisasi oleh pemerintah dan diberi label anarkisme. Ibarat pohon baru tumbuh dari biji yang kecil, petani mengarahkan cangkul hingga merusak akarnya yang lemah dan mencabik cabang daunnya yang masih belum berkembang sempurna. Jelas ini adalah bentuk pembungkaman agar generasi muda tidak kritis terhadap penguasa.
Sangat tidak relevan dengan kurikulum merdeka, belajar merdeka yang diwajibkan untuk mereka tuntut di bangku sekolah. Dimana mereka dituntut aktif, kreatif, inovatif dan menjadi pioner perubahan berbasis teknologi dan jiwa Pancasila. Artinya, apapun materi yang disusun dalam kurikulum itu hanya bersifat teori dan tidak bisa benar-benar dipraktikkan.
Padahal manusia bukan robot, yang bergerak berdasarkan perintah sebuah mekanisme buatan. Manusia punya hati, rasa dan akal, yang secara alamiah menginginkan nilai-nilai kebaikan tetap ada. Cukup nyata juga, bahwa Sistem Politik Demokrasi dan Sistem Ekonomi Kapitalisme hanya memberi ruang pada suara yang sejalan dengan kehendak rezim, sementara yang mengancam akan dijegal atau dikriminalisasi.
Demokrasi pun hanya melahirkan politisi karbitan, yang tak paham politik itu bagaimana dan seperti apa. Mereka didudukkan di panggung politik hanya berbekal pragmatisme, gula-gula partai yang bertujuan menarik hati masyarakat dari Figuritas mereka sebagai artis, entertainer atau pengusaha. Soal kapabilitas sebagai pemimpin dan nilai amanah yang ada pada diri mereka bisa dilobi.
Islam di Awal Sejarah adalah Remaja
Jika kita melihat sejarah awal Islam menguasai Jazirah Arab bahkan dunia adalah didominasi kalangan remaja dan pemuda. Sejarawan Nicko Pandawa menggambarkan bahwa pada masa awal dakwah Rasulullah saw., rata-rata pengikutnya adalah pemuda yang mengindra kerusakan masyarakat.
“Pada periode dakwah di Makkah selama 13 tahun, maka kita akan mendapati rata-rata pengikut Rasulullah saw. Yang mengindra adanya kerusakan masyarakat dan buruknya manajemen pemerintahan dari kabilah-kabilah, mayoritasnya adalah anak muda,” jelasnya dalam acara Maulid Nabi 1447 H: “Satu Risalah, Satu Umat, Satu Tujuan” di kanal One Ummah TV, Sabtu 27 September 2025.
Pada sosok Rasulullah para pemuda ini melihat kans perubahan akan terwujud nyata. Niko menambahkan, orang-orang yang pertama kali membaiat Rasulullah saw. Pada Baiat Aqabah pertama juga mayoritas anak-anak muda. “Mereka adalah anak muda yang menerima Rasulullah saw. Yang mendakwahkan Islam dan berharap Rasulullah saw. Menjadi pemecah kebuntuan di tengah masyarakat Madinah yang telah terjebak perang saudara selama ratusan tahun.
Sungguh sebuah fakta yang menarik, sebuah perubahan tidak muncul dari manusia dewasa semata, atau yang mumpuni secara politik, matang pemahaman Demokrasinya dan lain sebagainya, justru muncul pada jiwa muda yang kesannya labil dan paling ingin tahu.
Sejatinya, pemuda adalah tonggak perubahan, maka dalam pandangan Islam, kesadaran politik mereka harus diarahkan pada perubahan hakiki menuju Islam kafah. Karena berbekal semangat perubahan saja memang tidak cukup. Butuh strategi jitu dan pemahaman apa perubahan itu sendiri. Sehingga, tidak hanya berakhir pada pengerahan massa ( people power) saja.
Maka Islam mewajibkan adanya amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana perintah Allah swt. Dalam firmanNya yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (TQS Ali-Imran:104).
Salah satunya dan yang utama adalah mengoreksi penguasa ketika mereka berbuat dzalim, bukan malah membungkam suara kritis. Sebab, satu kezaliman yang dihasilkan oleh satu kebijakan penguasa akan mendatangkan kemudharatan yang luar biasa. Contoh mudah, adalah apa yang memicu gelombang protes pada aksi demonstrasi yaitu pajak. Di beberapa wilayah tarif pajak dinaikkan dengan sangat keji, alasan untuk pemerataan pembangunan.
Khilafah, sebagai institusi negara penerapan syariat Islam kafah, akan membentuk pemuda dengan pendidikan berbasis akidah Islam sehingga kesadaran politik mereka terarah untuk memperjuangkan rida Allah, bukan sekadar luapan emosi semata apalagi anarkisme.
Khilafah tidak menghalangi anak muda speak up, tidak menunggu mereka menjadi pengusaha sukses, menjadi pejabat, atau apapun capaian tertinggi di mata manusia, sebab sesungguhnya di hadapan Allah mereka manusia sempurna yang memiliki akal dan beban taklif (hukum syara) yang sama, yaitu amar makruf nahi mungkar. Wallahu a’lam bissawab.