Fenomena job hugging atau kecenderungan pekerja tetap bertahan di pekerjaan saat ini karena sulitnya mencari pekerjaan baru makin marak, baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Laporan Detik Finance (25/9/2025) menunjukkan tren ini semakin terasa di tengah kondisi ekonomi global yang lesu.
Di Amerika, survei LinkedIn menyebut generasi milenial dan Gen Z enggan berpindah kerja karena khawatir sulit mendapatkan pekerjaan baru, meski merasa tidak puas di tempat kerja mereka. Di Indonesia, laporan BPS Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka masih sekitar 5,3% atau 7,6 juta orang.
Sementara itu, tren PHK massal terus terjadi, mulai dari sektor teknologi, manufaktur, hingga ritel. Bahkan, banyak perusahaan yang masih beroperasi pun memilih melakukan efisiensi tenaga kerja.
Kondisi ini menyebabkan pasar kerja tidak lagi bergairah: gaji stagnan, jenjang karier sempit, dan beban kerja meningkat. Fakta-fakta ini memperlihatkan rapuhnya pasar tenaga kerja dalam sistem ekonomi saat ini.
Baca juga : Gender Trap, Belenggu Bagi Peran Eksternal Perempuan ?
Ekonomi Kapitalis sebabkan peluang kerja menyempit
Fenomena job hugging ini tidak bisa dilepaskan dari gagalnya sistem kapitalisme global dalam menjamin hak rakyat untuk bekerja. Kapitalisme menempatkan mekanisme pasar sebagai penentu utama.
Pekerjaan hanya tersedia bila menguntungkan pemilik modal, bukan karena adanya kebutuhan riil rakyat. Akibatnya, akses pekerjaan menjadi terbatas, sementara rakyat dipaksa bersaing keras hanya untuk bisa bertahan hidup.
Selain itu, negara melepaskan tanggung jawab menyediakan lapangan kerja dan menyerahkannya kepada swasta. Dengan alasan “efisiensi” dan “iklim investasi”, pemerintah lebih sibuk mengundang investor daripada menjamin warganya mendapat pekerjaan.
Padahal, orientasi swasta adalah laba, sehingga tenaga kerja dipandang sebagai “biaya produksi” yang selalu ditekan serendah mungkin. Alhasil, pekerja makin rentan menghadapi PHK, outsourcing, dan kontrak kerja jangka pendek.
Lebih jauh, sumber daya ekonomi diserahkan kepada segelintir kapitalis melalui privatisasi dan liberalisasi. Perusahaan-perusahaan besar menguasai tambang, hutan, energi, hingga pangan.
Rakyat luas kehilangan akses terhadap modal dan sumber daya produktif untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri. Akibatnya, peluang kerja makin menyempit, sementara kesenjangan ekonomi semakin melebar.
Di sisi lain, praktik ekonomi non-riil dan ribawi mendominasi. Uang berputar di sektor keuangan spekulatif, pasar modal, dan instrumen ribawi, yang memang menguntungkan segelintir elit, tetapi tidak menciptakan lapangan kerja nyata. Aktivitas ekonomi riil yang seharusnya menyerap tenaga kerja, seperti industri dan pertanian, justru semakin terpinggirkan.
Fenomena ini juga berakar dari arah pendidikan tinggi dalam peradaban kapitalisme. Perguruan tinggi dipaksa menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja global, seolah-olah pendidikan hanyalah “pabrik tenaga kerja”.
Namun, liberalisasi perdagangan jasa membuat negara lepas tangan dari kewajiban menjamin tersedianya pekerjaan. Lulusan perguruan tinggi didorong bersaing di pasar global yang tidak pernah menjamin semua orang bisa bekerja. Inilah sebabnya meskipun kualitas pendidikan ditingkatkan, angka pengangguran tetap tinggi.
Baca juga : Sound Horeg, Potret Pupusnya Makna Riayah
Dampak Job hugging butuh peran negara mengatasi
Dampaknya sangat luas. Bagi individu, job hugging menimbulkan stagnasi karier, menurunnya motivasi, hingga kesehatan mental terganggu. Bagi perusahaan, produktivitas melemah karena pekerja tidak bersemangat.
Bagi negara, ekonomi tersendat karena konsumsi masyarakat rendah, sementara pengangguran dan setengah pengangguran makin membengkak. Semua ini menunjukkan bahwa fenomena job hugging hanyalah gejala dari krisis struktural dalam kapitalisme.
Berbeda dalam peradaban sistem Islam. Negara berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk penyediaan lapangan kerja. Prinsip dalam ajaran Islam dalam penyediaan pekerjaan mencakup beberapa hal:
- Negara langsung menciptakan lapangan kerja di sektor riil. Islam menghidupkan sektor pertanian, industri, dan perdagangan melalui pengelolaan sumber daya alam secara langsung oleh negara. Misalnya, lahan yang luas tetapi terbengkalai wajib digarap, dan negara memfasilitasi rakyat untuk mengolahnya.
“Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”
(HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
- Distribusi kepemilikan sumber daya. Dalam Islam, kepemilikan umum (tambang, energi, air, hutan) tidak boleh diserahkan kepada korporasi, melainkan dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Hal ini membuka banyak kesempatan kerja di bidang pengelolaan sumber daya tersebut.
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
- Pemberian modal tanpa riba. Negara menyalurkan dana baitul mal bagi rakyat yang ingin membuka usaha, tanpa bunga dan tanpa jebakan utang. Dengan cara ini, rakyat bisa berwirausaha dan menciptakan lapangan kerja baru.
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah: 275)
- Pendidikan yang membentuk tenaga kerja produktif. Kurikulum Islam tidak semata-mata diarahkan mengikuti kebutuhan kapitalis, tetapi mencetak insan yang berilmu, bertakwa, dan mandiri, siap berkarya di berbagai bidang sesuai potensi mereka.
- Jaminan sosial bagi yang tidak mampu bekerja. Islam menjamin kebutuhan pokok setiap warga. Jika seseorang tidak bisa bekerja karena sakit, usia tua, atau sebab lain, negara tetap menanggung kebutuhan hidupnya. Hal ini menghilangkan ketakutan akan kehilangan pekerjaan sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme.
“Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. Bukhari, Muslim)
Dengan mekanisme ini, negara melalui kebijakannya akan menjadikan pekerjaan bukan sekadar komoditas pasar, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyat. Maka, fenomena job hugging dan krisis pasar kerja yang melanda dunia saat ini tidak akan muncul jika pemerintah bisa meniru konsep ajaran Islam.
Penulis : Siti Nurul Hidayah, S.Si (pemerhati publik)