Program Makan Siang Bergizi (MBG) Presiden Prabowo yang diluncurkan sejak 6 Januari 2025, memunculkan berbagai masalah, dari SPPG MBG yang tidak dibayar, menu yang tidak bergizi hingga kasus keracunan makanan. Kasus terakhir di Kota Bogor, hingga 9 Mei, ada pertambahan jumlah korban keracunan menjadi 210 orang (cnnindonesia.com, 11-5-2025).
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno menyebutkan jumlah korban berasal dari delapan sekolahan, mereka mendapat MBG dari satu SPPG yang sama. Dari jumlah tersebut ada 34 orang yang masih menjalani perawatan medis di rumah sakit.
Menanggapi banyaknya kasus keracunan makanan, Presiden Prabowo Subianto mengklaim angka kasus keracunan program makan bergizi gratis lebih kecil dibandingkan angka penerima manfaat. Angka kasus keracunan makanan bergizi sekitar 200 dari 3 juta penerima manfaat.
Menurut presiden , hal itu menandakan tingkat keberhasilan makan bergizi mencapai 99,99 persen. Sementara, tingkat kasus keracunan sebesar 0,005 persen (tempo.co, 11-5-2025). Sungguh semurah itukah nyawa manusia? Apakah anak-anak itu layaknya kelinci percobaan, yang jika mati atau ada kesalahan uji coba hanya boleh pasrah? Bukankah seharusnya pemerintah melakukan evaluasi, apakah MBG ini masih efektif mengatasi stunting dan kurang gizi pada generasi ataukah justru menjadi ajang uji coba yang berisiko kehilangan nyawa sehingga perlu ada terobosan baru sebagai solusi?
Alih-alih mencari solusi tuntas, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) malah menyebutkan, program MBG bakal mendapat proteksi asuransi. Hal itu sebagaimana yang dikatakan Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP). Ia juga mengatakan saat ini Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sedang menyusun proposal awal yang berisi mekanisme penyelenggaraan produk asuransi untuk program BMG (finansial.bisnis.com,11-5-2025).
Asosiasi telah mengidentifikasi beberapa risiko yang berpotensi terjadi pada penyelenggaraan program MBG, mulai dari tahap penyediaan bahan baku, pengolahan sampai pendistribusian kepada konsumen, kecelakaan bagi para pihak yang menyelenggarakan program MBG, mulai dari Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) hingga Satuan Pelayan Pemenuhan Gizi (SPPG) sehingga memunculkan perlunya proteksi.
Demikian juga dengan Badan Gizi Nasional sendiri, sama seperti OJK, mulai merancang perluasan skema perlindungan sosial dalam Program MBG, tidak sebatas asuransi untuk kasus keracunan makanan. Deputi Bidang Sistem dan Tatakelola Program MBG Badan Gizi Nasional (BGN) Tigor Pangaribuan mengungkapkan bahwa ke depan, cakupan asuransi akan diperluas hingga ke perlindungan non-medis seperti kehilangan penghasilan orang tua yang harus menemani anak sakit di rumah sakit (finansial.bisnis.com,10-5-2025).
Badan Gizi Nasional juga sedang mengkaji formulasi baru agar dana Rp15.000 per anak yang dialokasikan dalam program MBG bisa mencakup asuransi-asuransi lain yang relevan, termasuk perlindungan terhadap risiko kebakaran dan kecelakaan. Tigor mengatakan langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada pemenuhan gizi, tetapi juga ingin memastikan keamanan dan perlindungan menyeluruh bagi seluruh ekosistem pelaksana dan penerima manfaat program MBG.
Mengerikan, Ada Kapitalisasi Pelayanan Negara Kepada Rakyat
Sungguh di luar nalar, berbagai kasus keracunan makanan dianggap sebagai keberhasilan karena kegagalannya tak sampai 1 persen kini memunculkan ide untuk mengembangkan proteksi berupa asuransi, guna mengkover kerugian yang ditimbulkan. Sungguh penguasa kita keterlaluan, bukannya mengadakan evaluasi malah memunculkan peluang mendapatkan cuan dari kecelakaan, ironi!
Keracunan makanan dalam MBG jelas bukan semata karena kesalahan personal, namun sudah tingkat struktural, MBG adalah indilistrialisasi menguntungkan bagi banyak pihak, meski tidak semua namun tak bisa dipungkiri masih ada pihak yang menginginkan keuntungan lebih dari seharusnya. Bahkan tanpa berpikir panjang soal keselamatan konsumen, yaitu kesehatan masyarakat. Padahal ini adalah urusan nyawa, bukankah makanan adalah untuk memberikan tenaga pada raga? Raga untuk beraktifitas apapun termasuk beribadah.
Bisa dikatakan juga, rencana awal MBG hanyalah program untuk perbaikan gizi dan lepas dari stunting, kini menjelma jadi proyek bisnis baru berbasis riba, sebagaimana biasanya yang Kapitalis lakukan. Meskipun sudah mempersiapkan lembaga terkait untuk menangani kasus keracunan, namun membiarkan masyarakat terjebak dalam transaksi berbasis riba adalah bentuk pengabaian yang berikutnya. Di sini ada tindakan komersialisasi risiko dan bukannya solusi preventif, sakit jadi komoditas. Nasib rakyat bak jatuh tertimpa tangga pula.
Asuransi akan dibayar rakyat, bisa jadi skemanya ada bantuan dari negara meski tidak full, tapi masalahnya bukan di sana. Melainkan pada daya jamin negara yang kurang, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Ya, negara kita miskin tak ada harta untuk menjamin rakyatnya bergizi dan sehat.
Karena program MBG saja sudah menjadi open market, ditawarkan secara lelang siapa yang mau terjun mengurusi. Negara hanya penyedia aturan dan penghubung dengan investor. Sehingga pasar bebas tak bisa dibendung, negara pun menjamin kualitas gizi generasi, karena pasar bebas membiarkan produk-produk berbahaya beredar luas tanpa kontrol ketat. Inilah konsekwensi penerapan sistem Kapitalisme.
Kapitalisme juga gagal menyejahterakan rakyatnya, terbukti lapangan kerja minim. Semua berebut dalam proyek, memang negara dalam hal bisa dikatakan sudah membuka peluang terbukanya lapangan pekerjaan, namun bukan sekelas proyek MBG. Tapi semestinya yang lebih luas dari itu, yaitu kesejahteraan totalitas. Tanpa membedakan wilayah, kota maupun desa, rakyatnya terjamin mudah memperoleh pekerjaan, sementara kebutuhan pokok publik lainnya diampu negara.
Islam Memiliki Aturan Komperehensif Wujudkan Kesejahteraan
Solusi sejahterakan rakyat dalam pandangan Islam wajib secara struktural dan sistemik, sebab kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya berbeda-beda, demikian pula dengan potensi sumber daya alamnya. Maka negara wajib hadir seratus persen untuk mengisi kebutuhan itu.
Khilafah Islamiyah hadir mengatur ekonomi dan kehidupan rakyat berdasarkan syariat Islam yang berorientasi pada kemaslahatan. Perekonomian hanya pada transaksi yang riil alias non riba. Sehingga kekayaan bisa terdistribusikan secara adil dan merata. Juga tidak ada yang terzalimi. Negara menjamin setiap individu masyarakat mendapatkan pekerjaan melalui pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan sektor produktif, sehingga mampu memberi nafkah yang cukup bagi keluarganya.
Sementara Khilafah bertanggung jawab penuh atas keamanan pangan dan gizi masyarakat, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Tak perlu sertifikasi halal yang ujungnya kapitalisasi lagi. Yang dilakukan Khilafah adalah membangun ketahanan pangan dan sumber daya manusia yang berkualitas. Peran negara dan sistem pemerintahan yang diterapkan inilah yang menjadi kunci terwujudnya peradaban mulia selama 13 abad lamanya. Wallahualam bissawab.
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradabana