Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, adalah sosok yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Selama 32 tahun memimpin, ia membentuk arah perjalanan bangsa ini dengan kebijakan dan gaya kepemimpinannya yang khas. Namun, di balik perjalanannya yang panjang di dunia politik, ada kisah yang jarang diketahui publik—permintaan terakhir Soeharto sebelum wafat.
Kisah ini bukan sekadar cerita biasa. Ini adalah potongan sejarah yang memperlihatkan sisi manusiawi seorang pemimpin besar. Menjelang akhir hayatnya, Soeharto ternyata menyampaikan sebuah bisikan rahasia kepada orang terdekatnya. Bisikan itu terkait dengan beban hukum yang masih melekat pada dirinya, dan hal tersebut membuatnya merasa resah di sisa hidupnya.
Artikel ini akan mengupas secara lengkap kronologi permintaan Soeharto sebelum meninggal, siapa saja yang terlibat, serta bagaimana proses hingga permintaan itu akhirnya dikabulkan.
Latar Belakang Soeharto Menjelang Wafat
Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Soeharto memang jarang muncul di publik. Kesehatannya kian memburuk, dan ia kerap keluar masuk rumah sakit. Setelah lengser dari jabatannya pada tahun 1998, Soeharto sempat menghadapi berbagai tuduhan hukum, terutama terkait kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan selama masa pemerintahannya.
Meski proses hukum sempat berjalan, kondisi fisiknya yang semakin lemah membuatnya tidak bisa mengikuti sidang seperti biasa. Statusnya sebagai terdakwa tetap melekat, dan hal ini menjadi beban mental yang cukup berat bagi dirinya.
Di balik semua itu, tersimpan satu harapan yang ingin ia sampaikan sebelum menutup mata untuk selamanya.
Bisikan Rahasia kepada Yusril Ihza Mahendra
Sosok yang menjadi saksi langsung dari permintaan terakhir Soeharto adalah Yusril Ihza Mahendra, seorang tokoh politik dan ahli hukum tata negara yang saat itu dikenal dekat dengan Soeharto.
Suatu hari, ketika Soeharto berada dalam kondisi kritis di rumah sakit, Yusril mendapat panggilan untuk segera datang. Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju tempat di mana presiden kedua RI itu dirawat.
Setibanya di ruangan, suasana terasa hening. Soeharto yang terbaring lemah memanggil Yusril mendekat. Dengan suara pelan namun penuh tekanan emosional, ia menyampaikan bisikan rahasia: Ia meminta agar statusnya sebagai terdakwa segera dicabut.
Soeharto merasa ajalnya semakin dekat. Ia tidak lagi sanggup menghadapi urusan hukum yang membebani pikirannya. Permintaan itu diucapkan dengan penuh kesungguhan, seolah menjadi keinginan terakhir yang ingin ia wujudkan sebelum menghembuskan napas terakhir.
Reaksi Yusril Ihza Mahendra
Mendengar langsung permintaan Soeharto sebelum wafat tersebut, Yusril mengaku merinding. Permintaan itu bukan hanya soal hukum, tetapi juga menyangkut martabat dan ketenangan batin seorang mantan presiden yang telah banyak berjasa bagi negara.
Yusril memahami bahwa waktu sangat terbatas. Tanpa menunda, ia memutuskan untuk segera bertindak. Ia tahu, keputusan seperti ini harus melibatkan pihak tertinggi di pemerintahan, yaitu Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Malam itu juga, Yusril mengatur pertemuan dengan Presiden SBY. Dalam pertemuan tersebut, Yusril menyampaikan secara langsung pesan pribadi dari Soeharto. Ia menjelaskan bahwa kondisi Soeharto sudah sangat lemah dan permintaan ini datang dari lubuk hatinya yang terdalam.
Menurut Yusril, ini bukan sekadar urusan hukum, tetapi juga menyangkut kemanusiaan. Seorang pemimpin yang telah mengabdikan diri selama puluhan tahun tentu berhak mendapatkan ketenangan di akhir hayatnya.
Respons Presiden SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendengarkan penjelasan Yusril dengan penuh perhatian. Sebagai seorang pemimpin, SBY memahami posisi sulit yang dihadapi Soeharto. Setelah mempertimbangkan situasi dan urgensi permintaan tersebut, SBY akhirnya setuju untuk memenuhi permintaan terakhir Soeharto.
Keputusan itu diambil malam itu juga, tanpa proses panjang. Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang memastikan bahwa status terdakwa Soeharto dicabut. Dengan demikian, Soeharto terbebas dari masalah hukum di sisa hidupnya.
Hari Terakhir Soeharto
Tak lama setelah permintaan Soeharto sebelum meninggal itu dikabulkan, kondisinya semakin menurun. Beban pikiran yang semula menekan hatinya kini telah terangkat.
Pada tanggal 27 Januari 2008, Soeharto menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Ia wafat dalam keadaan tenang, tanpa lagi memikul status hukum yang membebaninya.
Makna di Balik Permintaan Terakhir Soeharto
Kisah ini menyimpan pesan yang dalam. Bagi sebagian orang, permintaan itu mungkin hanya soal hukum, tetapi bagi Soeharto, hal tersebut adalah tentang harga diri dan martabat.
Dalam budaya kita, seseorang yang akan meninggal biasanya ingin “membersihkan” semua urusan duniawi agar bisa pergi dengan hati yang lapang. Soeharto tidak terkecuali. Ia ingin meninggalkan dunia ini dengan keadaan damai, tanpa beban perkara yang bisa mengganggu ketenangannya.
Selain itu, cerita ini juga menunjukkan bagaimana komunikasi politik dan hubungan personal dapat mempengaruhi keputusan penting di tingkat negara. Tanpa kedekatan Yusril dengan Soeharto, mungkin pesan itu tidak akan tersampaikan tepat waktu.
Respon Publik atas Kisah Ini
Ketika kisah ini terungkap ke publik, reaksi masyarakat terbagi. Ada yang merasa keputusan mencabut status terdakwa itu adalah bentuk penghormatan kepada jasa-jasa Soeharto. Namun, ada pula yang menganggap bahwa proses hukum seharusnya tetap berjalan tanpa pengecualian.
Terlepas dari pro dan kontra, fakta bahwa permintaan terakhir Soeharto dikabulkan oleh Presiden SBY menjadi bagian dari sejarah politik Indonesia yang tidak terlupakan.
Warisan dan Kontroversi
Soeharto meninggalkan warisan besar, baik dari segi pembangunan maupun kontroversi. Selama memimpin, ia berhasil membawa Indonesia pada pertumbuhan ekonomi yang stabil di beberapa periode. Namun, pemerintahannya juga diwarnai dengan kritik terhadap praktik otoritarianisme dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Permintaan yang ia sampaikan sebelum wafat menjadi cerminan bahwa di akhir hidupnya, ia tetaplah manusia biasa yang menginginkan ketenangan dan kebebasan dari tekanan.
Kesimpulan
Kisah permintaan Soeharto sebelum wafat adalah salah satu potret langka yang memperlihatkan sisi pribadi seorang pemimpin besar. Dari seorang tokoh yang dikenal tegas dan berwibawa, menjelang akhir hayatnya ia menunjukkan sisi yang penuh kerendahan hati.
Dengan bantuan Yusril Ihza Mahendra dan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, permintaan tersebut akhirnya terwujud. Soeharto pun meninggalkan dunia ini dalam keadaan damai pada 27 Januari 2008, menutup bab panjang kehidupannya tanpa lagi membawa beban hukum.
Cerita ini menjadi pengingat bahwa di balik kekuasaan dan jabatan, setiap manusia pada akhirnya akan mencari ketenangan di penghujung hidupnya.