Oleh : Nurul Huzaimah.
Sesungguhnya, dunia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Kehidupan masyarakat jungkir balik dengan aneka kemaksiatan dan kerusakan moral. Tingginya perceraian bahkan cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu, aneka kriminalitas, penyalahgunaan dan peredaran narkoba, gay dan lesbianisme, bahkan maraknya poliandri di kalangan ASN adalah dalil kuat terhadap kerusakan kondisi masyarakat.
Bahkan pandemi yang tak kunjung berakhir semakin memperburuk kondisi ini. Tentu ini menuntut perhatian serius bagi upaya merekonstruksi masyarakat sehingga kerusakan ini tidak berujung pada kehancuran bangsa.
Penyuluh agama Islam sebagai penyampai ajaran Islam, maka perannya menjadi penting dan luar biasa dalam proses rekonstruksi tersebut. Akan tetapi sangat disayangkan justru pemerintah mengambil kebijakan kontra poduktif dengan pandangan bahwa penguatan kerukunan umat dan moderasi beragama adalah satu-satunya solusi mengatasi carut marutnya persoalan tersebut. Terlebih, pemerintah serius menggarap berbagai program pengurusannya dan menjadikan Kemenag sebagai ujung tombaknya.
Maka, penyuluh agama pun didesain sebagai corongnya. Itu tampak jelas dalam pernyataan Kapuslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama Muhammad Adlin Sila saat memberikan materi pada kegiatan Diseminasi Konten Moderasi Beragama di Provinsi Jawa Tengah, Hotel Sahid Jaya Kota Solo, Rabu (19/08).
“Pada masa ini sudah saatnya para Penyuluh Agama Islam lebih “speak up dalam menggaungkan gerakan moderasi beragama. Tidak hanya keliling dari masjid dan majelis taklim saja, namun juga melalui media-media digital seperti Facebook, Twitter atau Instagram di mana jumlah follower-nya itu banyak dan sebagian besarnya itu adalah kaum millennial”. (kemenag.go.id).
Menyedihkan. Penyuluh yang seharusnya menjadi penyampai kebenaran yang berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya, akan dibelokkan menjadi penyuluh moderasi yang menyimpang dari Alquran dan Hadis.
Penyimpangan Moderasi Beragama
Penyimpangan konsep moderasi beragama setidaknya tampak dari apa yang disampaikan Adlin ketika mengajak para penyuluh agama melakukan gerakan moderasi di dunia digital. Ia mengajak para penyuluh agama memulai membiasakan menulis konten-konten “positif” dengan iringan sifat etis yang menyertainya yaitu khusnudzan dan terbuka. (kemenag.go.id).
Apa maksud pernyataannya ini? Maksudnya jelas, penyuluh agama tak boleh menyampaikan ajaran Islam secara utuh, apa adanya. Tapi harus menyampaikan Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya.
Apa jadinya ketika penyuluh mengajak masyarakat untuk beragama secara moderat hingga mengambil sebagian hukum Allah dan menolak sebagian lainnya? Jelas ini tindakan yang menyimpang dari Alquran dan memastikan pelakunya mendapatkan kenistaan di dunia dan adzab pedih di akhirat sebagaimana firman Allah SWT.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (TQS Al Baqarah 85).
Bagaimana bisa ajaran Islam dianggap berbahaya? Bukankah ini sama saja menentang dan menantang Allah Sang Pembuat Ajaran-Nya? Harusnya, doktrin tentang keharusan bersikap khusnudzan dan terbuka, dicirikan dengan membuka luas ruang diskusi terhadap berbagai pemikiran dan ideologi.
Penyimpangan berikutnya juga tampak ketika Adlin mengajak para penyuluh mempromosikan toleransi dan menolak tindakan ekstrem. Ini adalah dua karakter muslim moderat yang sangat diharapkan Barat sebagaimana tercantum dalam laporan Rand Corporation –lembaga think tank Amerika Serikat–berjudul Building Moderate Muslim Network yang diterbitkan tahun 2007.
Karakter muslim moderat yang diharapkan Barat di dokumen tersebut adalah muslim yang menghargai keberagaman dan menentang terorisme dan semua bentuk kekerasan. Maka bisa dibayangkan, para penyuluh agama harus menyampaikan konten Islam sesuai arahan Barat. Toleransi yang dimaksud tentu adalah toleransi “ala Barat”.
Penyuluh Agama adalah Ulama
Menilik pada Keputusan Menteri Agama RI Nomor 516 Tahun 2003 setidaknya Penyuluh Agama memiliki fungsi informatif dan edukatif yaitu menempatkan dirinya sebagai dai yang berkewajiban mendakwahkan Islam, menyampaikan penerangan agama dan mendidik masyarakat sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Juga fungsi konsultatif yaitu menyediakan diri untuk turut memikirkan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik persoalan-persoalan pribadi, keluarga dan atau persoalan masyarakat secara umum. Juga fungsi advokatif yaitu penyuluh agama memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan pembelaan terhadap umat/masyarakat terhadap berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang merugikan akidah, mengganggu ibadah dan merusak akhlak.
Karenanya, para penyuluh agama seharusnya tetap teguh menyampaikan kebenaran, menyampaikan Islam secara keseluruhan yang bersumber dari Alquran dan Hadis, sekalipun sulit dan berisiko karena melawan arus moderasi. Para penyuluh agama harus berani menentang semua pihak yang hendak menutupi kebenaran dan kemuliaan Islam. Tak mengikuti arahan “Barat” yang kufur, tapi mengikuti petunjuk Allah SWT.
Sungguh, kedudukan para penyuluh agama ini sama dengan ulama. Demikianlah, dengan karakter ulama yang melekat padanya, seharusnya para penyuluh agama memosisikan diri mereka sebagai penyampai kebenaran Islam, bukan penyampai moderasi. Peran mereka dalam proses rekonstruksi (perbaikan) masyarakat sangatlah dinanti-nantikan, sehingga terwujud Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin.
Penulis adalah aktivis dan pemerhati sosial*