Viral istilah Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana ( Rombongan Hanya Nanya) yang merujuk pada perilaku konsumen di beberapa pusat perbelanjaan, mereka hanya berkeliling, menyentuh beberapa barang dagangan, seolah menawar harga namun tidak jadi beli. Ujung-ujungnya setelah puas membandingkan harga dah kualitas mereka malah beli online di market place.
Tak urung membuat para pengusaha mengelus dada, jumlah kunjungan meningkat tapi pembelian barang stagnan. Hal ini disadari pemerintah akibat daya beli masyarakat lesu, yang memaksa pusat perbelanjaan beralih fungsi, bukan lagi tempat mereka memenuhi kebutuhan barang tapi lebih kepada wisata atau hiling.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pun terus mendorong pertumbuhan penjualan ritel modern di Indonesia, diharapkan, pertumbuhannya bisa menjadi katalis transformasi perdagangan. Hal itu seperti dikatakan oleh Asisten Deputi Perdagangan Dalam Negeri Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ismariny dalam Konferensi Pers ‘Hari Retail Modern Indonesia (Harmoni)’ yang diinisiasi oleh Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) di Gedung Smesco, Jakarta Selatan (republika.co.id, 24-7-2025).
Harmoni 2025 mengangkat tema ‘Retail Modern sebagai Pilar Ketahanan Pangan dan Penggerak UMKM Indonesia’. Tema tersebut menunjukkan peran strategis ritel modern dalam menopang ekonomi nasional melalui berbagai sasaran, mulai dari penyerapan lebih dari 25 juta tenaga kerja nasional, kontribusi terhadap 13,2 persen PDB nasional, hingga kontribusi signifikan dalam penerimaan pajak konsumsi nasional.
Motor penggerak utama perekonomian nasional, menurut Ismariny masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga dengan kontribusi lebih dari 54 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), maka peranan ritel modern terbilang cukup besar dalam mendorong geliat konsumsi rumah tangga di tengah ragam tantangan global, seperti kebijakan tarif AS dan perang dagang yang menyertainya, serta proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Pemberdayaan UMKM juga dibutuhkan agar naik kelas dan bisa bersaing secara global sehingga bisa menjadi andalan dalam mendukung penguatan ritel yang sehat dan inklusif serta mampu menjangkau seluruh pelosok negeri. Ismariny juga mengajak masyarakat untuk membeli produk lokal melalui kampanye ‘Belanja di Indonesia Aja’, di tengah persaingan bisnis ritel yang kompetitif. Harapannya tingkat dan kontribusi konsumsi rumah tangga masih tetap kuat. Belanja bukan hanya soal konsumsi, tetapi juga kontribusi nyata bagi kedaulatan ekonomi bangsa.
Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah juga menegaskan, ritel modern memiliki peran strategis sebagai infrastruktur ekonomi nasional. Ritel modern bersama UMKM disebut sebagai pilar ketahanan ekonomi. Secara konkret Hippindo merespon program Sidaya melalui peluncuran program Warior (Warga Senior) yang dilaksanakan di ritel modern anggota Hippindo.
Penata Kependudukan Dan Keluarga Berencana Ahli Madya, Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan BKKBN Elsa Pongtuluran mengatakan, program ini menyasar lansia usia 60 tahun ke atas, tidak hanya dengan penawaran belanja ramah lansia, tetapi juga kegiatan aktif seperti merajut, mewarnai, memasak, dan senam lansia.
Kapitalisme Peduli Produksi Abai Distribusi
Di tengah melemahnya daya beli masyarakat, pemerintah justru mengambil kebijakan penguatan ekonomi keluarga, melalui pemberdayaan UMKM dan ritel modern. Padahal, akar persoalannya bukan di sana. Sebesar apapun upaya pemerintah mendorong , UMKM dan ritel modern masih berada di bawah pimpinan ekonomi kapitalisme. Dimana permodalan dikuasai oleh segelintir pihak.
Inilah ciri ekonomi Kapitalisme hanya sibuk produksi, bukan pada distribusi, artinya tidak ada kepedulian apakah produk ini benar-benar bisa terserap masyarakat atau tidak. UMKM dan ritel digenjot, permodalan dihubungkan dengan lembaga pembiayaan berbasis riba. Sementara di sisi lain, fasilitas yang berhubungan dengan kebutuhan pokok publik negara tidak urus dengan baik.
Sehingga meski misalnya UMKM dan retil sudah bisa berkembang dan menyerap tenaga kerja banyak, tetap tidak bisa mewujudkan kesejahteraan disebabkan biaya yang dikeluarkan masyarakat masih banyak. Ditambah dengan adanya pungutan pajak. Pada akhirnya, apa yang didapat dari UMKM dan ritel hanyalah dana untuk bertahan hidup, secara minim.
Daurnya terus demikian, dukungan pemerintah ala kadarnya, wajar jika kemudian masyarakat mengubah perilakunya dalam berbelanja dan memenuhi kebutuhan pokoknya. Lebih parah, kelak yang tak bisa bertahan akan tumbang, dan naasnya dalam sistem Kapitalisme, mereka yang tumbang tidak ada belas kasih, malah otomatis masuk dalam kelas tak berguna. Bagian dari kelemahan manusia, dan gap antara di kaya dan si miskin tak terelakkan lagi semakin dalam.
Kapitalisme tak mampu mengatasi kerusakan ini, maka muncullah bantuan-bantuan sosial yang ditujukan sebagai bantalan peredam akibat keterpurukan ekonomi dan dalamnya kesenjangan di atas. Pemerintah, lagi-lagi yang menonjol hanya peran sebagai regulator kebijakan. Yang begitu ramah kepada investor dan keji kepada rakyat sendiri.
Islam Solusi Hakiki Sejahterakan Umat
Perkara kesejahteraan adalah paten bagi setiap negara dan harus diwujudkan sebagai tujuan diadakannya negara. Dengan kewenangan dan fasilitas yang dimiliki, maka negara menjadi pihak yang wajib mewujudkannya. Namun Kapitalisme, mengubah konsep itu menjadi semacam untung rugi dengan rakyat.
Seharusnya yang diupayakan pemerintah adalah perkuat industri, terutama pengelolaan sumber daya alam yang berlimpah dan sesuai amanat UUD 1945 adalah untuk rakyat. Bukan malah bertumpu pada ekonomi keluarga yang rentan.
Penguasa dalam Islam sebagaimana yang Rasûlullâh Saw. maksud yaitu, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Jelas, ia tak boleh menyulitkan rakyatnya, bahkan ia wajib melayani sepenuh hati setiap kebutuhan rakyat, sebagaimana seorang ibu menyayangi anaknya. Ia akan dimintai pertanggung jawaban Allah atas wewenang yang ia miliki apakah ia amanah ataukah tidak. Dan tidak ada yang bisa menjamin semua itu kecuali jika ia menerapkan syariat Islam.
Negara dalam hal ini wajib mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang berlimpah. Tanpa melibatkan asing apalagi berjualan beli dengan mereka dengan berbagai alasan semisal investasi,hilirisasi dan lainnya. Negara haram bertindak demikian sebab semua kekayaan alam adalah milik umum.
Penerapan syariat secara kâfah atau menyeluruh menjadi sebuah pilihan dan bukan sekadar wacana, sebagai seorang muslim semestinya menjadi keinginan atas dasar keimanan agar terwujud kesejahteraan sekaligus keberkahan. Wallahualam bissawab.