POJOK SURAMADU

#Inspirasi For You

Home

ic_fluent_news_28_regular Created with Sketch.

Berita

Wisata

Bisnis

Pendidikan

Keislaman

ic_fluent_phone_desktop_28_regular Created with Sketch.

Teknologi

ic_fluent_incognito_24_regular Created with Sketch.

Gaya Hidup

Sosial Media

Prank, Jokowi End Game dan Pembangkangan Sipil

Oleh: Moch Eksan

End Game adalah judul film Amerika Serikat yang diproduksi pada 2019. Film Hollywood ini tentang tim superhero Avengers dalam dalam menghadapi Titan Thanos pada Infinity War (2018) yang telah merusak separuh alam semesta. Mereka merajut sisa kekuatan yang ada untuk melawan sang perusak guna mengembalikan keadaan dunia.

Istilah tersebut ramai di media sosial sebagai ajakan aksi demo dengan tagline “Jokowi End Game” pada 24 Juli 2021. Banyak yang menentang seruan ini sebab bisa menimbulkan kerumunan dan memunculkan klaster penularan Covid-19 baru.

Sementara itu, menurut Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Zubairi Djoerban, kondisi DKI Jakarta semakin membaik melihat positivity rate yang menurun pada seminggu terakhir dari 40 persen menjadi 25,7 persen.

Persentase di atas sangat jauh di atas patokan tertinggi dari World Health Organization (WHO) sebesar 5 persen positif baru. Kendati tingginya positivity rate disinyalir bukan semata peningkatan penularan akan tetapi penambahan jumlah testing di atas patokan organisasi kesehatan dunia sejumlah 1000 testing per 1 juta penduduk.

Pemerintah dinilai gagal dalam penanganan Covid-19. Demo di atas bertujuan untuk mengakhiri pemerintah Jokowi ala people power. Sebuah penggulingan presiden dengan paksa melalui aksi demonstrasi. Walau cara ekstraparlementer ini sulit mengulang sukses pelengseran Presiden Soeharto pada tahun 1998.

Memang, Indonesia mengalami krisis kesehatan yang luar biasa. Namun, tekanan dunia masih kurang kuat terhadap pemerintah berkuasa. Kemarahan rakyat sporadis, belum massif, kekuatan militer penuh mendukung pemerintah dan partai-partai pro pemerintah menguasai parlemen. inilah menyulitkan kelompok oposisi pemerintah memakzulkan Presiden Jokowi sekarang ini.

Jadi, Jokowi End Game sekadar wacana, belum merupakan gerakan massa yang dapat menggulingkan kursi Jokowi, tapi cukup memanas suhu politik nasional. Ada kelompok invisible hand (tangan tak tampak) yang terus menyayikan lagu protes keras atas serangkaian kegagalan pemerintah dalam mengatasi Pandemi Covid-19 ini.

Aksi Jokowi End Game ternyata hanya isapan jempol belaka. Ada beberapa orang datang ke arena aksi di sekitar patung kuda kawasan Monas Jakarta, mereka harus kecewa tak menemukan aksi. Ajakan aksi tak lebih hanya provokasi. Aparat keamanan yang berjaga akhirnya kena prank. Menkopolhukam Mahfud MD juga terkecoh oleh aksi batal tersebut.

Para arsitek aksi demo, barangkali saat ini tertawa terbahak-bahak bisa membuat pemerintah kalang kabut menyiapkan antisipasi pengamanan dengan mengerahkan 3.385 aparat. Tagline Jokowi End Game sangat jelas merupakan aksi demo yang bertujuan untuk menggusur presiden dari singgasana kekuasaan.

Tapi ternyata, poster ajakan di media sosial tersebut telah mengusik pemerintah berkuasa, sehingga beraksi berlebihan. Padahal, poster ala anak muda itu hanya testing the water terhadap kesigapan pemerintah dalam menghadap civil disobedience (pembangkangan sipil).

Pembangkangan sipil merupakan penolakan aktif dan nyata dari warga negara untuk mematuhi undang-undang, tuntunan, tuntutan dan perintah dari otoritas kekuasaan. Istilah Civil Disobedience ini digunakan oleh Herry David Thoreau, dalam memaparkan perjuangan para aktivis antikekerasan dalam melawan kekuasaan yang tiran.

Dalam buku Resistence to Civil Government, menyebutkan beberapa perjuangan tokoh sejak pada akhir tahun 1800an sampai dengan 1960an. Sebut saja: Susan B Anthony dalam gerakan sipil perempuan AS pada akhir tahun 1800an, Sa’ad Zaghloul dalam melawan pendudukan Inggris di Mesir pada tahun 1910an, Mahatma Gandhi dalam perjuangan kemerdekaan India pada 1920an, serta Martin Luther King dan James Bevel dalam perjuangan hak sipil AS pada tahun 1960an.

Pada saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sampai pemberlakuan level 4 sampai 1 ini, bermunculan perlawanan rakyat terhadap aparat, kasus perusakan terhadap mobil, kekerasan terhadap tenaga kesehatan dan petugas pemakaman, pelanggaran terhadap protokol kesehatan, adalah wujud dari pembangkangan sipil di Tanah Air.

Secara jujur harus diakui, pembangkangan sipil berlatar hilangnya kemerdekaan dan munculnya ketidakadilan dalam benak warga negara. Mereka merasa hak sipilnya dirampas oleh negara namun pemerintah tak bisa memenuhi kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bansos dan segala macam program social safety net tak bisa mengcover seluruh warga negara yang terdampak Covid-19. Hanya sebagai kecil saja yang menerimanya. Dan terkadang bansos lambat sampai pada yang berhak. Di level masyarakat akar rumput, masih ditemukan yang tak berhak justru dapat. Semestinya yang berhak malah tak dapat. Semua ini harus dibereskan untuk menghindari prank mengeprank antara pemerintah dan masyarakat. Semoga!

*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute

Artikel Terkait :

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Postingan Populer