Pojoksuramadu.com – Kebijakan pemerintah yang membatasi subsidi BBM dengan syarat membawa STNK pajak hidup seakan memberi pesan bahwa subsidi bukan lagi hak rakyat, melainkan hadiah bagi mereka yang taat membayar pajak kendaraan. Padahal, bukankah rakyat kecil yang setiap hari menanggung beban pajak terbesar lewat harga-harga kebutuhan pokok yang terus mencekik?
Kebijakan ini bukanlah solusi, melainkan pemindahan beban. Justru rakyat kecil yang paling merasakan dampaknya: nelayan, petani, tukang ojek, sopir angkot—semua yang setiap tetes bensinnya menjadi denyut nafkah hidup. Sementara mereka yang menunggak pajak besar, menikmati proyek raksasa, bahkan merugikan negara lewat korupsi, seringkali lolos tanpa hambatan.
Baca juga : Job Hugging Mewabah, Pencari Kerja Makin Lelah
Kita tentu tidak menolak aturan, tetapi kita menolak ketidakadilan. Menjadikan STNK dan pajak hidup sebagai syarat memperoleh subsidi hanyalah bentuk diskriminasi yang memotong hak rakyat kecil. Jika pemerintah ingin menegakkan disiplin, bukankah seharusnya koruptor pajak yang lebih dulu ditindak? Jika ingin tertib, bukankah pemborosan pejabat yang seharusnya dihentikan terlebih dahulu?
Subsidi BBM bukan sekadar fasilitas; ia adalah darah ekonomi rakyat. Membatasinya tanpa solusi yang berpihak hanya akan memutus urat nadi bangsa ini. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Inilah saatnya rakyat bersuara. Diam berarti mengizinkan ketidakadilan tumbuh subur di negeri ini. Kita membayar pajak setiap hari dengan keringat kita, maka kita berhak atas subsidi yang layak. Kebijakan yang menindas rakyat kecil tidak boleh dibiarkan. Ia harus dilawan, bukan dengan amarah buta, melainkan dengan pikiran, suara, dan keberanian.
Sebab, hanya dengan keberanian bersuara, kita bisa menghentikan ketidakadilan yang terus beranak-pinak di tanah air ini.