Opini: Hanafi, Pengasuh Ponpes Attaubah Pamekasan
Saya bangga berkiprah di tanah kelahiran (Pamekasan) dan saya bangga menjadi orang Pamekasan. Kebanggaan itu bukan karena pencitraan, melainkan kebanggan yang memang terbangun di atas tabiat ketimuran.
Penulis bangga dengan keindahan Pamekasan, bangga dengan kekayaan alamnya baik di darat maupun di laut, dan juga dengan kebesaran sejarahnya Panembahan Ronggo Sukowati.
Tapi seperti yang berulang kali saya sampaikan, yang paling membanggakan tentang Pamekasan ini adalah manusia dan juga konsep kehidupan berbangsa. Manusia yang ramah, sopan, serta memiliki budi pekerti yang tinggi.
Manusia yang senantiasa mengedepankan kelembutan dan perdamaian di atas kekerasan dan konflik, mengedepankan persahabatan dan kerjasama di atas permusuhan dan perpecahan, serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal ketimbang memaksakan kepentingan sempit kelompok dan golongan.
Nilai-nilai universal yang kita maksud itulah yang terpatri dalam konsep modern yang disebut demokrasi. Sebuah konsep sosial kemasyarakatan yang hingga kini masih diyakini dan disepakati oleh sebagian besar masyarakat Pamekasan sebagai nilai universal dalam membangun kehidupan kolektif manusia.
Yang paling membanggakan kemudian, adalah bahwa Pamekasan sekaligus mampu mematahkan hipotesis sebagian orang bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang paradoks. Argumentasi Pamekasan bukan sekedar dalam bentuk konsep dan teori. Tapi dengan bukti dan realita. Menjadi Pamekasan dengan Muslimnya tapi mengadopsi nilai-nilai demokrasi universal tadi.
Dua hal yang oleh sebagian dianggap “paradoxical” (tertolak belakang). Kenyataannya memang hanya segelintir dari sekian Muslim yang mampu mengawinkan keduanya (Islam dan demokrasi) tapi saya selalu bersemangat (walau diam-diam) ikut beberapa kali menabur benih Demokrasi Entah kenapa, saya sendiri belum terlalu paham kenapa Hanya belakangan saya paham ternyata itu adalah bagian dari instink alami warga yang menghendaki Pamekasan menjadi bagian dari kota demokrasi.
Di mana kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan publik dijunjung Kebebasan berbicara terbuka dan demo pun di mana-mana terjadi. Kebebasan pers juga demikian. Sehingga mengkritik pemerintah dianggap tabu bahkan menakutkan, kini menjadi biasa bahkan menjadi konsumsi rutin yang menyenangkan.
Barangkali yang paling menggembirakan dari fenomena terbangunnya kehidupan berdemokrasi itu adalah ketika partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi tumbuh dengan semangat yang sangat luar biasa. Hal ini sekaligus menjadikan Pamekasan sebagai kota demokrasi.
Sebagai putra pamekasan yang tinggal di JL.KH.Shinhaji tentu sangat wajar bergembira. saya melihat pamekasan yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan publik mengalami prioritas yang lebih baik.
Tentu harapan saya tetap agar rakyat pamekasan dalam kemajuan dan kemakmuran nanti tetap terbangun di atas nilai-nilai agama yang memang sejak turun temurun telah menjadi akar kehidupan masyarakat.
Tapi di tengah harapan itu juga tumbuh kekhawatiran yang besar. Kekhawatiran itu beralasan karena kasus-kasus mutakhir di pamekasan memberikan signal yang kurang baik, bahkan cenderung menjadi bumerang bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi bukan hanya kotak suara semata dan kita harus berdiri di pihak mereka yang mencari kehidupan lebih baik. Ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat, maka salah satu fenomena mutakhir yang bisa menjadi ancaman demokrasi adalah terjadinya “transaksi kepentingan”.
Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah terjadi tekanan-tekanan yang mengarah kepada pemaksaan untuk meloloskan kemauan kelompok tertentu. Hal ini akan menjadi kanker dalam tubuh demokrasi, karena dunia demokrasi hanya mengenal kompetisi dan bukan pemaksaan. Ancaman dan intimidasi untuk memaksakan kehendak lambat laun tapi pasti akan mematikan pohon demokrasi itu sendiri.
Hal lain yang paling berbahaya bagi kelestarian demokrasi adalah ketika hukum politik tidak lagi menjadi acuan. Hukum hanya menjadi slogan di atas kertas dan konsep. Tindakan seperti di atas tidak saja secara moral salah, tapi juga menjadi racun bagi kehidupan berdemokrasi. Saya sungguh mengharapkan bahwa ketidaksesuaian apapun yang terjadi dalam masyarakat hendaknya diselesaikan melalui jalur demokrasi. Di mana hukum selalu dikedepankan.
Pada akhirnya kebebasan dalam berdemokrasi bukan kebebasan tanpa batas. Tapi kebebasan yang dibatasi oleh batas-batas hukum yang ada. Di saat kebebasan telah menginjak-injak supremasi hukum maka itu bukan kebebasan. Sehingga, kegiatan-kegiatan masyarakat akan dianggap ancaman. Jika ini terjadi maka perilaku ONe Maen Show kembali hidup. Bahkan lebih berbahaya lagi karena kini terbungkus oleh retorika demokrasi.
Semua isi dalam artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis*