Oleh: Damar Shasangka, Penulis Buku Sejarah Nusantara
Begini lho, ya. Kekhalifahan itu adalah sistem imperium dunia, sebuah negara internasional, pusat otoritas keagamaan dan politik Islam. Mirip-mirip Vatican dalam Katholik walau ada beberapa perbedaan. Para sultan yang memerintah kesultanan di seluruh dunia memang harus berbaiat atau bersumpah setia kepada khalifah. Ini berlaku bagi penganut Ahli Sunnah Wal Jamaah (Sunni). Berbeda dengan penganut Syi’ah, mereka memiliki otoritas sendiri yang disebut imamah. Dan kita tahu Sunni dan Syi’ah sejak dahulu tidak pernah akur.
Sebelum pecah menjadi Sunni dan Syi’ah, kepemimpinan Islam menyatu dalam otoritas Khulafaur Rasyidin yang dipimpin oleh lima orang Khalifah, pertama Nabi Muhammad, kedua Sayidina Abu Bakar, ketiga Sayidina Umar, keempat Sayidina Utsman dan kelima Sayidina Ali. Baru setelah Sayidina Ali terbunuh, pecahlah otoritas menjadi kekhalifahan dalam Sunni dan imamah dalam Syi’ah. Adapun Syi’ah ini adalah pendukung militan dari Sayidina Ali beserta keluarganya. Jadi ketika kita membahas kekhalifahan maka kita tengah membahas otoritas dalam Sunni, tidak membahas Syi’ah.
Membahas kekhalifahan yang merupakan sebuah imperium dunia, maka menjadi masuk akal jika kesultanan di Nusantara juga Jawa akan berbaiat kepada pusat kekhalifahan dunia. Baik berbaiat secara sah maupun belum sah yang artinya sebatas mengakui dominasi kekhalifahan secara sepihak, yaitu tunduk kepada otoritas kekhalifahan namun belum berbaiat secara sah. Di Jawa sebut saja Kesultanan Demak Bintara, Kesultanan Pajang dan Kesultanan Mataram terikat secara keimanan dengan kekhalifahan dunia. Untuk Kesultanan Mataram, dengan diterimanya gelar sultan secara resmi oleh Susuhunan Prabhu Anyakrakusuma pada 1641, maka otomatis Mataram sudah berbaiat kepada Kekhalifahan Turki Utsmani.
Pada 23 Juni 1636, Pangeran Ratu, Raja Banten ke-4 mendapat gelar sultan secara resmi dari Kekhalifahan Turki Utsmani yang dimandatkan kepada penguasa Makkah sehingga Panembahan Ratu lantas bergelar Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir.
Mataram adalah lawan Banten. Kedua kerajaan Islam ini saling bermusuhan sejak dulu. Melihat Raja Banten mendapat gelar sultan secara resmi dari Kekhalifahan Turki Utsmani, maka Susuhunan Anyakrakusuma mengirim utusan ke Makkah untuk diteruskan ke Turki agar gelar sultan juga bisa diberikan kepada Raja Mataram.
Pada 1641, Kekhakifahan Turki Utsmani mengabulkan permohonan Susuhunan Anyakrakusuma dan menganugerahi gelar sultan secara resmi. Gelar dianugerahkan oleh Khalifah Turki Utsmani, Murad IV yang diwakilkan kepada Syarif Mekah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Susuhunan Anyakrakusuma ditahbiskan sebagai Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.
Jadi apakah kesultanan di Jawa memiliki hubungan dengan Kekhalifahan Islam? Jelas ada. Walaupun mungkin minim ditemukan bukti hubungan tersebut, namun semangat keimanan sudah pasti menjadi pengikat perhubungan tersebut sehingga tidak heran jika di Jawa eksistensi Turki Utsmani atau disebut Ngerum dalam logat Jawa menjadi idola semenjak abad-15. Ini wajar karena semenjak abad-15, pusat kekhalifahan dunia berpindah dari Kekhalifahan Abasiyah Dinasti Mamluk di Kairo, Mesir ke Kekhalifahan Utsmani di Istambul, Turki. Lihat dan baca naskah2 tradisional yang dibuat sepanjang abad-15 hingga abad-20, eksistensi Ngerum (Turki Utsmani) sangat-sangat diagungkan. Pengagungan ini berakhir begitu riwayat kekhalifahan dunia dibubarkan pada tahun 1924 oleh Mustafa Kemal Pasya seiring berdirinya Republik Turki. Namun pengagungan tersebut masih terekam dengan gamblang pada naskah-naskah tradisional Jawa pasca Islam.
Sejarahnya begitu. Dan memang semenjak Majapahit runtuh pada abad-15, bangsa kita sudah tidak berdaulat penuh. Makanya orang Jawa membuat sengkalan yang sangat apik terkait keruntuhan Majapahit :
Sirna Ilang Kertaning Bumi (Sirna Hilang Kedaulatan Bumi)
Sengkalan, selain memuat sintaktis kalimat yang mudah dipahami, juga mengandung sandi angka tahun. Sirna adalah sandi angka ‘0’, Ilang adalah sandi angka ‘0’, Kerta adalah sandi angka ‘4’, Bumi adalah sandi angka ‘1’. Dan membaca angka sengkalan harus dibalik, sehingga terbacalah tahun 1400 Saka. Jika dikonversi ke tahun Masehi akan ketemu tahun 1478 Masehi. Pada tahun itulah kedaulatan bangsa Jawa dan Nusantara terenggut sehingga dikatakan sirna dan hilang kedaulatan bumi.(*)