Oleh: Dwi Indah Lestari, S.TP, Pemerhati Persoalan Publik.
Sekolah-sekolah di Pulau Madura sedang bersiap untuk memulai Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Setelah sekian lama kegiatan belajar mengajar dilakukan di rumah, sekolah akhirnya memulai tahap baru menuju kondisi normal.
Melalui surat 420/11350/101.1/2020 tentang uji coba pembelajaran tatap muka terbatas jenjang SMA/SMK/SLB di Jatim, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memperbolehkan pembelajaran tatap muka (PTM). Berdasarkan hal ini, kabupaten-kabupaten yang ada di Madura mulai melakukan langkah-langkah persiapan untuk melaksanakannya.
Meskipun begitu, dibukanya kembali sekolah dengan PTM masih bersifat uji coba, sehingga belum seluruh sekolah akan melaksanakannya. Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep sudah menentukan sekolah-sekolah mana yang akan memulai uji coba PTM ini. Rencananya uji coba PTM ini akan berlangsung mulai 18 Agustus.
Kebijakan PTM ini di tengah pandemi yang masih terus berkecamuk ini sebenarnya memunculkan perasaan was-was khususnya pada orang tua. Wabah corona hingga saat ini belum juga menunjukkan akan selesai. Jumlah lonjakan kasus per harinya masih tinggi. Di Madura sendiri penambahan pasien positif masih terjadi setiap harinya.
Status kabupaten-kabupaten yang ada di Madura saat ini masih berada pada zona oranye dan zona kuning. Hal itu menunjukkan bahwa penyebaran virus masih terjadi meskipun tergolong rendah. Namun ini memperlihatkan bahwa masyarakat madura masih harus mewaspadai kemungkinan resiko terpapar virus berbahaya ini.
Oleh sebab itu, dimulainya belajar langsung di sekolah dengan tatap muka ini, tentu akan membawa kekhawatiran akan resiko penularan kepada anak-anak maupun guru. Walaupun dengan sistem shift, dimana jumlah murid yang masuk akan dibatasi dan digilir, namun terjadinya interaksi antar individu mungkin saja ada.
Untuk itu pihak-pihak terkait perlu melakukan persiapan-persiapan yang serius dan sungguh-sungguh. Sebab dengan bahaya corona yang masih terus mengintai, keselamatan anak-anak tentu berada dalam zona bahaya. Virus yang super kecil tak kasat mata ini bisa saja ditularkan oleh siapapun saat anak-anak melakukan aktivitas di luar rumah termasuk di sekolah.
Sarana dan prasarana yang lengkap, memadai dan cukup jumlahnya menjadi hal yang wajib dipenuhi dalam proses uji coba ini. Seperti ketersediaan masker, sarana air yang cukup, sabun untuk cuci tangan, kelas yang memungkinkan untuk physical distancing dan lain-lain. Hal ini sebagai bagian
upaya untuk memberikan penjagaan dari resiko penularan.
Namun adanya sarana prasarana itu juga tidak cukup. Harus pula disertai dengan perilaku disiplin untuk senantiasa mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan. Ini berarti anak-anak harus mendapatkan pemahaman yang utuh dan benar terkait hal tersebut. Seperti tidak berkerumun, disiplin memakai masker, rajin cuci tangan, tidak saling meminjamkan alat tulis dan lain-lain.
Berarti dalam hal ini, pemberian edukasi terkait dengan protokol kesehatan ini seharusnya menjadi bagian dari persiapan yang dilakukan. Seluruh komponen yang nantinya terlibat dalam proses uji coba PTM ini perlu memahami dengan benar untuk selalu mengikuti protokol kesehatan.
Selain itu pihak-pihak terkait juga wajib melakukan pengawasan dan kontrol selama uji coba ini berlangsung. Karena tanpa pengawasan yang ketat, pelanggaran terhadap protokol kesehatan masih mungkin terjadi. Semua itu dalam rangka meminimalisir resiko penyebaran virus lebih luar yang bisa membahayakan kesehatan anak-anak.
Memang tidak dapat dipungkiri, kebutuhan belajar secara tatap muka sangat penting, yang tidak bisa dipenuhi dengan belajar sendiri di rumah secara maksimal. Transfer ilmu lebih efektif bila dilakukan secara langsung antara guru dan murid. Guru lebih mudah melakukan pemberian materi kepada murid serta mengevaluasi proses penerimaan ilmu.
Apalagi Belajar Di Rumah (BDR) selama ini ternyata masih banyak terkendala, seperti kesulitan sinyal, fasilitas smartphone, juga kemampuan orang tua sebagai pengganti guru bagi anak dalam belajar. Semua memang membuat BDR tidak bisa berjalan efektif. Bahkan ada murid yang tidak mengikuti pelajaran sebab tidak memiliki hp yang memadai.
Namun pemerintah sendiri semestinya menyadari bahwa PTM di tengah wabah yang masih berlangsung, meski dengan pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat, tetap tidak bisa memberikan hasil terbaik seperti aktivitas belajar normal.
Pembatasan-pembatasan kegiatan selama belajar di sekolah, akan membawa dampak tersendiri kepada para murid. Mereka yang biasanya dapat berinteraksi bebas dengan temannya, tak bisa lagi seperti itu.
Aspek psikologis anak didik sedikit banyak bisa terganggu. Apalagi mereka belajar dengan penuh was-was akan adanya kemungkinan terpapar virus berbahaya. Rasa bosan harus menjaga jarak selama di sekolahpun bisa berakibat anak-anak tidak antusias menjalani KBM di sekolah. Belum lagi mereka harus menjaga diri dengan protokol kesehatan yang sedikit banyak merepotkan bagi mereka.
Untuk itu semestinya pemerintah mengambil langkah lebih besar untuk tidak membiarkan keadaan “tak normal” ini bisa segera usai. Pemerintah harus menjadikan upaya penuntasan wabah sebagai agenda utama. Hal ini akan menjadikan seluruh sektor kehidupan akan bisa berjalan normal kembali seperti sebelum wabah melanda.
Langkah penuntasan wabah memang bisa jadi akan menyedot energi dan anggaran yang besar. Namun ini adalah langkah terbaik yang seharusnya dilakukan agar kehidupan masyarakat kembali seperti semula serta keselamatan rakyat tidak perlu dipertaruhkan berhadapan dengan ancaman penyakit mematikan. Negara adalah penjaga dan pengatur urusan rakyatnya. Bila energi dan anggaran negara bukan untuk melayani rakyat, lalu untuk apalagi? Wallahu’alam bisshowab.
Catatan: Semua isi dalam artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis*