Oleh: Dwi Indah Lestari, S.TP (Pemerhati Persoalan Publik)
Tangis ibu dari Muhammad Rafli, pelajar kelas VIII SMPN 7 Pamekasan, Madura pecah saat menceritakan kondisi anaknya yang sudah beberapa waktu ini tak dapat mengikuti pelajaran karena tak mampu membelikan ponsel untuk belajar secara daring.
Sejak virus corona mewabah, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah turut mengalami penyesuaian. Belajar secara online menjadi satu-satunya pilihan. Namun ternyata, sistem ini tidak dapat diikuti oleh semua pelajar, karena berbagai kendala yang dihadapi.
Seperti halnya kasus Rafli di atas. Pelajar berusia 14 tahun ini hidup dalam keluarga yang kekurangan. Orangtuanya yang hanya berprofesi sebagai buruh tani tak mampu membeli ponsel pintar untuk mendukung belajar daring anak mereka. Penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja (pojok suramadu, 23 Juli 2020).
Berbagai kendala Sekolah Daring
Tak mampu membeli smartphone ternyata bukan satu-satunya yang menjadi kendala bagi para pelajar untuk bisa sekolah daring. Beberapa orang tua yang memiliki fasilitas ponsel pintar–pun tak lantas bisa membuat belajar secara online ini menjadi lancar. Pasalnya diantara mereka juga kesulitan untuk membeli kuota internet.
Apalagi dengan kondisi pandemi, kondisi ekonomi masyarakat ikut terpuruk. Bahkan ada di antaranya harus merasakan pahitnya kenyataan di PHK. Otomatis sumber pendapatan berkurang atau bahkan hilang. Tentunya pembelian paket internet menambah menu belanja keluarga yang harus dikeluarkan.
Selain itu, akses sinyal juga menjadi salah satu kendala yang dirasakan para siswa. Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Jangankan akses internet, kadang-kadang ada daerah yang bahkan belum menikmati terangnya listrik.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim saja mengaku kaget saat mengetahui banyak siswa yang tidak memiliki akses listrik dan sinyal internet yang memadai.
Padahal melalui Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19, Mendikbud mengumumkan penerapan pembelajaran daring. Namun ternyata penerapannya tak semulus yang diharapkan (asumsi.co, 12 Mei 2020).
Tanggung Jawab Siapa?
Kondisi yang ada menunjukkan masih buramnya potret dunia pendidikan di negeri ini. Bayangkan saja. Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, ternyata masih banyak anak-anak negeri yang tak mampu mengecap nikmatnya berbagai kemajuan.
Kondisi pandemi ini nyatanya membuka berbagai kekurangan dari kebijakan yang digulirkan yang tak berimbas secara merata pada setiap warga negara. Bahkan jor-joran infrastruktur ternyata tak memberi daya dukung atau manfaat pada pemenuhan hak dasar dari rakyat.
Padahal pendidikan adalah salah satu hak asasi . Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan”. Konstitusi dasar negara ini juga telah menegaskan kewajiban negara untuk memenuhi hak dasar ini, sebagaimana dalam pasal yang sama ayat kedua berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, semestinya negara-pun mengusahakan agar setiap anak-anak bangsa tetap bisa bersekolah.
Sistem belajar daring ini mestinya didukung oleh pemerintah dengan mengusahakan sistem pembelajaran jarak jauh yang terstruktur dan jelas, menyediakan fasilitas yang memadai yang bisa diakses semua pelajar dan menjamin semua infrastruktur yang ada mendukung berjalannya KBM di seluruh wilayah.
Kegiatan belajar mengajar secara daring inipun sebenarnya bukan solusi ideal bagi keberhasilan pendidikan dalam jangka panjang. Karena bagaimanapun belajar secara tatap muka lebih efektif dalam melakukan transfer ilmu dan pembentukan karakter pada anak didik.
Untuk itu semestinya pemerintah perlu mengambil pula langkah untuk bisa segera menuntaskan wabah. Sehingga sekolah bisa segera dibuka dan para pelajar dapat kembali belajar secara normal dengan aman. Wallahu’alam. (*)