POJOKSURAMADU.COM, Pamekasan – Disertasi dengan judul “Etnis Tionghoa di Madura (Interaksi Sosial Etnis Tionghoa dengan Etnis Madura di Sumenep Madura)” berhasil mengantarkan Muhammad Ali Al Humaidy meraih gelar Doktoral di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang, Kamis, (16/07/2020).
Pada ujian disertasi yang digelar virtual Rabu, (15/07), kemarin, pria yang juga sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Madura itu, mampu mempertahankan hasil penelitiannya di hadapan para pengujinya.
Disertasi tentang Interaksi Etnis Tionghoa dengan Madura itu difokuskan pada aspek Terbentuknya interaksi sosial, Simbol-simbol terbentuknya interaksi sosial, dan Modal sosial dalam interaksi sosial. Tesis yang saat ini sudah dibukukan itupun dihasilkan dari penelitian efektif selama 2 tahun.
“Untuk daerah sengaja saya angkat Kabupaten Sumenep karena memang disana banyak Etnis Tionghoa yang menyebar berdasarkan keterangan dari para sejarawan,” kata Malhum – Sapaan Akrab Muhammad Ali Al Humaidy.
“Kalau yang dibukukan memang sengaja karena agar bisa dijadikan referensi. Sejauh ini belum banyak referensi soal Etnis Tionghoa di Madura,” sambungnya.
Selain karena ketertarikan terhadap pola interaksi antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Madura, Ia ingin agar persepsi tentang pola interaksi Etnis luar terhadap orang Madura dan Etnis Tionghoa yang selama ini salah bisa diluruskan.
“Hasil penelitian itu membuktikan bahwa antara Etnis Madura dengan Etnis Tionghoa di Madura sudah terjadi asimilasi bahkan salah satunya adalah terjadinya perkawinan antar etnis hingga kemudian keturunannya disebut peranakan,” tutur Malhum.
Malhum menilai sejauh ini masih ada anggapan bahwa orang-orang peranakan atau etnis tionghoa tidak bisa berinteraksi. Namun, nyatanya anggapan itu telah terbantahkan. Buktinya, di Pabean Sumenep, ada Masjid, Gereja, dan Klenteng yang berdekatan. Hal itu tentunya dimaknai sebagai simbol kerukunan sosial.
“Tionghoa itu memiliki filosofi “Empat Mata Angin” yang artinya semuanya saudara. Hal itu tentu sejalan dengan falsafah madura yaitu Tretan Dhibi’, Tak La’nyala’a Kor Jha’ Salae (Saudara Sendiri, Tak ingin Mengganggu Asal Jangan Diganggu),” terang Malhum. (Hasibuddin)