Bicara tentang musik tentunya bisa membuat perasaan hati kita menjadi sedikit adem ayem dan bisa membuat perasaan kita tenang dan terhibur, tidak terkecuali musik tradisional yang ada di Madura, khususnya di Bangkalan.
Dan tentunya perkembangan musik tradisional yang ada di Patenteng Modung Bangkalan ini cukup memberikan warna tersendiri sehingga musik yang diberi nama “Musik Duk-Duk” ini menyajikan nuansa yang berbeda dengan musik yang lainnya.
Musik Duk-Duk merupakan musik kombinasi beberapa jenis alat musik perkusif yang dimainkan oleh 7 orang pemusik sehingga dapat dipadukan secara harmonis.
Instrumen musik dibentuk melalui 3 jenis instrumen pokok yang antara lain:
- Sepasang Ning-Nong (instrumen logam berpencu sejenis bonang dalam gamelan jawa) yang dibunyikan dengan alat pemukul dari kayu yang ujungnya dibalut karet ban bekas. Relevansi nada dari sepasang instrumen ini tergolong pentatonic dan sangat dekat dengan nada 3 dan 1 laras slendro dalam karawitan jawa;
- lima buah Kentungan (jawa= kenthongan) dari bahan kayu jati, yang terdiri atas gudug (berukuran paling besar), tingkating, penerus, tung-tung dan tik-tuk (berukuran paling kecil, berfungsi sebagai penjaga beat);
- Gung (Gong) berdiameter sekitar 75 cm yang terbuat dari bahan perunggu.
Menurut penuturan narasumber dan beberapa warga setempat, musik Duk-Duk dapat disajikan dalam acara rokat (jawa= ruwatan) desa, waktu pengambilan air dari mata air di luar desa untuk dicampurkan atau dikawinkan dengan mata air asal desa sendiri, hal ini dilakukan dengan harapan agar seluruh desa bisa terhindar dari kekeringan. Acara semacam ini diadakan hanya pada saat menjelang bulan puasa.
Pertunjukan Duk-Duk juga dapat dikategorikan dalam bentuk teater total sebagaimana kecenderungan budaya musik komunal lainnya di Indonesia. Sebab musik ini juga disertai tarian dan juga didalamnya terdapat penceritaan di setiap episodenya.
Dahulu, musik mulai dibunyikan untuk memberi semacam tanda atau undangan bagi penonton. Ketika penonton sudah berdatangan maka tarian topeng dan cerita pun mulai disajikan dengan iringan.
Dalam konteks tersebut, musik tidak berdiri sebagai sajian yang otonom atau mandiri sebab merupakan kesatuan dengan tari dan sastra. Tarian, dilakukan oleh 2 hingga 5 orang penari yang masing-masing mengenakan topeng memerankan tokoh dan karakter yang berbeda.
Terdapat 5 topeng yang meliputi sepasang topeng tokoh satria berwajah warna koneng atau kuning (lelaki dan perempuan), sepasang topeng tokoh pembantu warna putih (abdi atau punakawan), sebuah topeng tokoh raksasa berwarna hijau (butha).
Demikian halnya dengan gerakan pada tari-tari kerakyatan lainnya yang terdapat pada masyarakat di luar pengaruh keraton, gerakan dalam tarian topeng ini juga lebih cenderung sederhana dengan perulangan yang konsisten.
Pada suatu saat tertentu, kontinuitas musik dan gerakan tari dapat membawa penari masuk kedalam keadaan trans. Perbedaan dapat dilihat pada cepat atau lambatnya gerakan yang sesungguhnya reaksi mengikuti atau menyesuaikan tempo permainan musik.
Busana yang dikenakan para penari pun bukan busana khusus, melainkan pakaian sehari-hari.Seluruh penari adalah pria, termasuk penari yang memerankan tokoh putri.
Hal demikian ini dapat diasumsikan sebagai akibat dari pengaruh Islam, dimana masa dulu kaum hawa memang seringkali kurang mendapat tempat untuk menjadikan seni sebagai wadah aktualisasi diri.
Penceritaan yang dibawakan melalui tarian topeng tak lepas dari kisah-kisah yang populer pada masa Hindu-Budha dulu. Menurut beberapa sumber, keberadaan tari topeng dalam Duk-Duk memang telah lama ada di Madura sebelum kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Arya Kusuma yang berasal dari Sampang sebagai sarana syiar Islam. Sejak masa itulah, kisah-kisah yang dibawakan menjadi banyak berubah mengarah pada kepentingan syiar.
Keberadaan topeng sendiri, yang sesungguhnya merupakan bagian dari budaya totem diperkirakan telah ada pada beberapa abad yang lalu. Keberadaan topeng dalam seni pertunjukan terntu tak lepas dari pengaruh persebaran ajaran Hindu-Budha di nusantara.
Desa Patengteng yang merupakan tempat dimana kesenian Duk-Duk ini hidup, memang memiliki kaitan erat dengan sejarah terjadinya prahara antara kerajaan Daha dan Tumapel (Kediri dan Singasari).
Konon pasukan Tar-Tar yang dikalahkan oleh Majapahit, dipukul mundur dan tercerai-berai.Sebagian dari mereka terdampar sampai di Desa Patengteng yang dulunya bernama Mencai.
Nama Patengteng, ditengarai sebagai nama yang berasal dari bahasa Cina, yaitu Paiting ting. Penuturan ini juga diperkuat dengan adanya beberapa daerah lain yang juga banyak mempunyai nama dari bahasa Cina seperti Sribun, Botai dan Pankenong. Pecahan kelompok etnis yang menghuni Mencai selanjutnya dikenal sebagai kaum yang bercocok tanam padi dengan menggunakan sumber air yang ada.
Melihat berbagai hal yang melatar-belakangi keberadaan Duk-Duk, pertunjukan tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu yang tertua yang pernah ada di Madura.
Sebagai seni ritual, kesederhanaan dan monotonnya sajian Duk-Duk tidak lagi mampu ditangkap, dipahami dan disarikan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, malahan dianggap sebagai sesuatu yang samasekali tak menarik apalagi berharga dimata masyarakat pemiliknya sendiri. Pun semakin terpinggir dan tak mampu bersaing lagi melewati jaman.
Narasumber: Hj. Ruslan Abdul Gani (pemuka agama), Pak Sahar (tokoh masyarakat dan pembina seni), Sugimin (guru kesenian dan staf Pemda. Kab. Bangkalan), Zoelkarnain Mistortoify (dosen Jurusan Etnomusikologi, Fak. Seni Pertunjukan ISI Surakarta), Hidrochin Sabarudin (Budayawan Bangkalan), serta beberapa individu lain yang merupakan bagian dari masyarakat desa Patengteng.
Melalui postingan ini, marilah kita tingkatkan kepedulian kita terhadap peninggalan budaya yang ada di Kabupaten Bangkalan, agar jangan sampai musik tradisional “Duk-Duk” ini pudar dan akhirnya hilang dari buka bumi ini karena tidak ada lagi generasi muda yang meneruskannya.
Sumber : Bangkalan Memory