Ratusan mahasiswa dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) berkumpul di halaman Balairung, Gedung Pusat UGM, pada Selasa (18/3) untuk menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI. Mengenakan pakaian bernuansa gelap sebagai bentuk keprihatinan, mereka bergantian menyampaikan aspirasi dan kritik terhadap RUU yang dianggap berpotensi menghidupkan kembali konsep Dwifungsi ABRI—sebuah warisan Orde Baru yang memberikan militer peran ganda sebagai penguasa dan pengatur negara selama lebih dari tiga dekade.
Salah satu orator dalam aksi ini, Dr. Herlambang Wiratman, dosen Fakultas Hukum UGM, menegaskan bahwa RUU TNI berpotensi merusak supremasi sipil dalam sistem demokrasi dengan memberikan ruang bagi militer di jabatan-jabatan sipil. Ia juga mengkritik proses penyusunan RUU yang dinilai tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. “RUU ini tidak memiliki urgensi yang jelas, apalagi saat ada 41 Prolegnas prioritas yang seharusnya lebih didahulukan. Kampus tidak akan tinggal diam menghadapi ancaman terhadap demokrasi. Kita harus menjaga reformasi dan menolak segala bentuk militerisme,” tegas Herlambang.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Achmad Munjid, Ph.D., turut menyoroti kejanggalan dalam proses perumusan RUU TNI ini. Menurutnya, ada indikasi kuat bahwa regulasi ini bertujuan mengembalikan peran militer dalam urusan sipil, sesuatu yang telah dihapus setelah Reformasi 1998. “Masyarakat harus waspada dan terus mengawal kebijakan ini. Tidak boleh ada celah bagi militer untuk kembali masuk ke ranah sipil,” ujarnya.
Sementara itu, Markus Togar Wijaya, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap implikasi hukum dari RUU tersebut. Ia menilai bahwa langkah pemerintah dalam menyusun regulasi ini bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip negara hukum. “Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat adanya pengkhianatan terhadap konstitusi. Kita semua harus lebih sadar dan aktif dalam mengawal kebijakan ini,” tuturnya.
Baca juga : Sunan Cendana Bangkalan, Panglima Perang Mataram dan Penyebar Islam di madura
Aksi ini juga mendapatkan dukungan dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, yang turut hadir di lokasi. Ia menegaskan bahwa UII menolak keras RUU TNI, mengingat dampak buruk yang pernah ditimbulkan oleh Dwifungsi TNI di masa lalu, termasuk tindakan represif terhadap masyarakat sipil.
Dalam aksi tersebut, para peserta menyampaikan lima tuntutan utama, yaitu:
- Mendesak pemerintah dan DPR untuk membatalkan revisi UU TNI yang dianggap tidak transparan, tergesa-gesa, serta mengabaikan aspirasi publik, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
- Menuntut komitmen pemerintah dan DPR dalam menjaga supremasi sipil serta tidak mengkhianati agenda reformasi dengan menghindari kembalinya Dwifungsi TNI/Polri.
- Mendorong reformasi internal di tubuh TNI/Polri agar lebih profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara demi membangun kepercayaan publik.
- Mengajak seluruh akademisi di Indonesia untuk bersikap tegas dalam menolak segala bentuk tindakan yang melemahkan demokrasi, melanggar konstitusi, dan mengancam cita-cita reformasi.
- Mendukung gerakan masyarakat sipil dalam mengawasi dan mengontrol kebijakan pemerintah dan DPR agar tetap berada dalam koridor demokrasi dan konstitusi.
Aksi ini menjadi bukti bahwa civitas akademika tidak tinggal diam dalam menghadapi ancaman terhadap demokrasi. Dengan semakin besarnya gelombang penolakan, publik diharapkan dapat terus mengawal proses pembahasan RUU TNI demi menjaga keberlangsungan reformasi di Indonesia.